Hewan yang baru dipotong dagingnya lentur dan lunak, kemudian terjadi perubahan-perubahan sehingga jaringan otot menjadi keras, kaku, dan tidak mudah digerakkan. Keadaan inilah yang disebut dengan rigor mortis. Dalam keadaan rigor, daging menjadi lebih alot dan keras dibandingkan dengan sewaktu baru dipotong. Waktu rigor mortis pada daging sapi yaitu 10-24 jam setelah penyembelihan. Rigor mortis terjadi setelah cadangan energi otot habis atau otot sudah tidak mampu mempergunakan cadangan energi.
Jalur distribusi perdagangan daging pasca sembelih yang terlalu panjang akan berdampak pada pencapaian fase kekakuan atau fase rigormortis. Pada fase ini terjadi perubahan tekstur daging, jaringan otot menjadi keras, kaku dan tidak mudah digerakkan. Daging pada fase ini jika dilakukan pengolahan akan meghasilkan daging olahan yang keras dan alot. Pada fase rigormortis akan menyebabkan penurunan nilai daya terima pada daging.
Kekerasan daging selama fase rigor mortis disebabkan terjadinya perubahan struktur serat-serat protein. Protein dalam daging yaitu protein aktin dan miosin mengalami crosslinking. Pada fase rigor mortis ATP dan ADP bertindak sebagai bantalan antara aktin dan miosin, sehingga keduanya tidak mudah bergabung dan sebaliknya ketika ATP dan ADP rendah maka aktin dan miosin cepat bergabung dan otot menjadi mengkerut atau kontraksi serabut otot. Dalam keadaan rigor mortis akan menyebabkan perubahan karakteristik daging menjadi lebih alot, keras dan tidak nikmat untuk dimakan.
Memperbaiki kualitas daging maka perlu dilakukan pengolahan agar daging sapi dapat menjadi empuk. Salah satu cara alami untuk mendapatkan kualitas daging yang empuk adalah dengan memanfaatkan enzim proteolitik. Enzim merupakan katalisator biologis yang dihasilkan oleh sel-sel hidup dan berfungsi mempercepat bermacam-macam reaksi biokimia. Enzim yang terdapat dalam makanan dapat berasal dari bahan mentah atau mikroorganisme yang terdapat pada makanan tersebut.
Sumber enzim yang dapat digunakan untuk pengempukan daging yaitu enzim bromelin yang terdapat dalam buah nanas dan enzim papain yang terdapat dalam buah pepaya. Tanaman nanas dan pepaya banyak dihasilkan dan mudah ditemui di daerah tropis seperti Indonesia. Pemanfaatan enzim bromelin dan papain ini bernilai ekonomis dalam pengempukan daging karena mudah diperoleh dan penggunaannya sederhana. Metode yang dapat digunakan dengan cara perendaman daging sapi menggunakan enzim bromelin dan papain yang terkandung dalam sari buah nanas dan pepaya.
Proses perendaman ini dilakukan dalam rendaman larutan yang memiliki enzim proteolitik. Selama perendaman daging sapi dalam enzim proteolitik (bromelin dan papain) terjadi proses hidrolisis protein serat otot dan tenunan pengikat sehingga terjadi perubahan-perubahan yaitu menipisnya dan hancurnya sarkolema, terlarutnya nukleus dari serabut otot dan jaringan ikat serta putusnya serabut otot sehingga dihasilkan jaringan yang lunak.
Masyarakat dalam pengolahan daging lebih sering mengenal menggunakan daun pepaya untuk membungkus daging, buah nanas hanya dipotong-potong untuk pengolahan daging dibandingkan penggunaan buah nanas dan buah pepaya dibuat sari buah dalam pengolahan daging. Buah pepaya muda memiliki enzim papain lebih banyak dibandingkan pada daun pepaya. Penggunaan sari buah nanas dan pepaya dalam pengolahan daging lebih efektif karena hidrolisis protein daging (kolagen dan miofibril) lebih cepat dan waktu yang dibutuhkan untuk mengempukkan daging menjadi lebih singkat. Meningkatnya penambahan ekstrak buah nanas terjadi penurunan gaya maksimal yang diperlukan untuk menekan sampel daging sehingga terjadi peningkatan keempukkan daging.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H