Mohon tunggu...
Rangga Dipa
Rangga Dipa Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan Swasta

write a story to inherit my grandchildren.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah di Ujung Ladang Milik Pak Tua

8 Juli 2024   04:28 Diperbarui: 8 Juli 2024   04:33 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Begitulah kesibukannya tiap hari. Tubuh rentanya berjalan menuju kotak pos yang sudah berkarat, ditemani dengking anjingnya yang setia, ia memeriksa apakah ada surat di dalamnya, lalu kembali dengan tangan kosong dan punggung nyeri.

Pak Tua hidup menyendiri di ladang warisan keluarganya, menanti beberapa hal yang menghantui isi hatinya yang kosong persis seperti kotak surat miliknya.

Kedua anaknya telah pergi ke kota untuk meneruskan hidup masing-masing. Kabar terakhir yang dikirim dari si bungsu adalah lima bulan lalu, dia bahagia dengan anak serta suaminya, sementara si sulung---entah kapan Pak Tua mengingatnya. Yang ia ingat, anak pertamanya pamit untuk memperjuangkan suara proletar kepada para pemangku jabatan.

Sejak saat itu, Pak Tua tak mendapatkan kabarnya lagi. Ada bunyi kruk dalam hatinya setelah mengingat kejadian tersebut. Di mana gerangan ia berada? Pak Tua rindu mendekapnya erat dan merasakan kehangatan yang tulus kala mereka bertukar empati.

Namun apa daya, semua itu tinggal kenangan.

Kabarnya Pak Tua masih setia menunggu surat-surat yang tak kunjung datang dari anak-anaknya lagi. Awalnya, mereka janji akan rajin mengirim tiap minggu, hingga kotak posnya berdebu dan dihiasi sarang laba-laba.

Tak ada sepucuk surat pun ia terima.

Pak Tua kembali duduk di beranda rumah. Menyaksikan hangat mentari yang menyinari ladangnya, anjing tua meringkuk di sebelah kursi bergoyang seraya mendengar kicauan burung dari arah pepohonan di belakang rumah.

Dari sekian banyak pohon terdapat satu jenis mahoni yang berusia 70 tahun berukuran besar dengan dedaunan yang lebat. Dahulu, pohon itu ditanam oleh Pak Tua dan mendiang ayahnya dengan harapan dapat memberikan manfaat bagi keturunannya kelak.

Masih segar di pikirannya ketika si sulung dan si bungsu berlomba memanjat pohon itu. Istri Pak Tua merasa cemas, sebagaimana sifat seorang Ibu adalah penyayang dan pelindung, ia memanggil-manggil nama anaknya sebanyak tiga kali seraya mendongak ke arah batang tertinggi yang disinari cahaya matahari pukul 2.

Sebagaimana pula anak kecil yang beranjak remaja, kedua kakak beradik itu hanya membalas dengan gelak tawa disusul Pak Tua yang tengah mengayuhkan kapak untuk memotong kayu guna menjadi material kandang ternak.

Ia rindu menghabiskan waktu bersama anak-anak dan mendiang istrinya. Kini, kawan setianya hanyalah seekor anjing dan gesekan daun yang seakan-akan bernyanyi nina bobo untuk lansia sebatang kara hidup tanpa arah.

Jika saja ia bisa memutar waktu kembali pada masa di mana anak pertamanya hendak pamit pergi ke kota. Dengan segenap argumentasi dan permohonannya, Pak Tua akan menahan agar dirinya tidak pergi hingga situasi di kota besar berangsur membaik.

Sayangnya, percakapan yang awalnya berjalan damai menjadi tegang persis setelah si sulung berkata bahwa hidupnya akan lebih bermanfaat jika dapat menolong orang lain dari hal kecil. Pak Tua yang masih diselimuti amarah hanya mampu memberi makan egonya.

Kata "angkat kaki dari rumah ini!" bak petir yang menyambar di siang bolong bagi si sulung yang menuruti dengan berat hati.

Anak keduanya pun tak kalah keras kepala---memang buah tak jatuh jauh dari pohonnya. Waktu itu pukul empat sore, semburat matahari senja di ufuk barat yang seyogianya indah justru menjadi saksi bisu akan pengusiran si bungsu, sebab Pak Tua tak sudi anaknya dipinang oleh pria peranakan lalu hidup di bilangan Glodok, Pancoran.

Hingga saat ini Pak Tua hanya bisa menyesali perbuatannya. Namun, rindu yang menggerogoti sukses menyayat pedih hati laksana belati yang menguliti kulit. Pak Tua selalu bertanya-tanya apakah istrinya masih setia mengamati? Bangga atau justru murka dengan keputusan Pak Tua yang mengizinkan anak-anaknya pergi bertualang ke kota?

Tetiba angin dari arah ladang bertiup, seolah-olah memberi isyarat bahwa istrinya masih mengamati Pak Tua. Pelupuknya berembun, matanya terpejam. Udara yang bertiup itu merengkuh kulitnya yang sudah keriput. Ada sensasi geli menggelitik hingga membuat bulu tengkuknya merinding.

"Aku baik-baik saja, terima kasih telah bertanya," kata Pak Tua monolog, anjingnya mengangkat salah satu telinganya lalu terlelap kembali.

Pak Tua menyeka air matanya dan berbisik kepada sang angin, "Aku merindukanmu juga, tolong maafkan aku."

KONGSI. Dok Kompasiana.com
KONGSI. Dok Kompasiana.com

KONGSI. Dok Kompasiana.com
KONGSI. Dok Kompasiana.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun