Mohon tunggu...
Rangga Dipa
Rangga Dipa Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan Swasta

write a story to inherit my grandchildren.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rumah di Ujung Ladang Milik Pak Tua

8 Juli 2024   04:28 Diperbarui: 8 Juli 2024   04:33 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Old Man and His Dog by Greg Cartmell

Ia rindu menghabiskan waktu bersama anak-anak dan mendiang istrinya. Kini, kawan setianya hanyalah seekor anjing dan gesekan daun yang seakan-akan bernyanyi nina bobo untuk lansia sebatang kara hidup tanpa arah.

Jika saja ia bisa memutar waktu kembali pada masa di mana anak pertamanya hendak pamit pergi ke kota. Dengan segenap argumentasi dan permohonannya, Pak Tua akan menahan agar dirinya tidak pergi hingga situasi di kota besar berangsur membaik.

Sayangnya, percakapan yang awalnya berjalan damai menjadi tegang persis setelah si sulung berkata bahwa hidupnya akan lebih bermanfaat jika dapat menolong orang lain dari hal kecil. Pak Tua yang masih diselimuti amarah hanya mampu memberi makan egonya.

Kata "angkat kaki dari rumah ini!" bak petir yang menyambar di siang bolong bagi si sulung yang menuruti dengan berat hati.

Anak keduanya pun tak kalah keras kepala---memang buah tak jatuh jauh dari pohonnya. Waktu itu pukul empat sore, semburat matahari senja di ufuk barat yang seyogianya indah justru menjadi saksi bisu akan pengusiran si bungsu, sebab Pak Tua tak sudi anaknya dipinang oleh pria peranakan lalu hidup di bilangan Glodok, Pancoran.

Hingga saat ini Pak Tua hanya bisa menyesali perbuatannya. Namun, rindu yang menggerogoti sukses menyayat pedih hati laksana belati yang menguliti kulit. Pak Tua selalu bertanya-tanya apakah istrinya masih setia mengamati? Bangga atau justru murka dengan keputusan Pak Tua yang mengizinkan anak-anaknya pergi bertualang ke kota?

Tetiba angin dari arah ladang bertiup, seolah-olah memberi isyarat bahwa istrinya masih mengamati Pak Tua. Pelupuknya berembun, matanya terpejam. Udara yang bertiup itu merengkuh kulitnya yang sudah keriput. Ada sensasi geli menggelitik hingga membuat bulu tengkuknya merinding.

"Aku baik-baik saja, terima kasih telah bertanya," kata Pak Tua monolog, anjingnya mengangkat salah satu telinganya lalu terlelap kembali.

Pak Tua menyeka air matanya dan berbisik kepada sang angin, "Aku merindukanmu juga, tolong maafkan aku."

KONGSI. Dok Kompasiana.com
KONGSI. Dok Kompasiana.com

KONGSI. Dok Kompasiana.com
KONGSI. Dok Kompasiana.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun