Ia rindu menghabiskan waktu bersama anak-anak dan mendiang istrinya. Kini, kawan setianya hanyalah seekor anjing dan gesekan daun yang seakan-akan bernyanyi nina bobo untuk lansia sebatang kara hidup tanpa arah.
Jika saja ia bisa memutar waktu kembali pada masa di mana anak pertamanya hendak pamit pergi ke kota. Dengan segenap argumentasi dan permohonannya, Pak Tua akan menahan agar dirinya tidak pergi hingga situasi di kota besar berangsur membaik.
Sayangnya, percakapan yang awalnya berjalan damai menjadi tegang persis setelah si sulung berkata bahwa hidupnya akan lebih bermanfaat jika dapat menolong orang lain dari hal kecil. Pak Tua yang masih diselimuti amarah hanya mampu memberi makan egonya.
Kata "angkat kaki dari rumah ini!" bak petir yang menyambar di siang bolong bagi si sulung yang menuruti dengan berat hati.
Anak keduanya pun tak kalah keras kepala---memang buah tak jatuh jauh dari pohonnya. Waktu itu pukul empat sore, semburat matahari senja di ufuk barat yang seyogianya indah justru menjadi saksi bisu akan pengusiran si bungsu, sebab Pak Tua tak sudi anaknya dipinang oleh pria peranakan lalu hidup di bilangan Glodok, Pancoran.
Hingga saat ini Pak Tua hanya bisa menyesali perbuatannya. Namun, rindu yang menggerogoti sukses menyayat pedih hati laksana belati yang menguliti kulit. Pak Tua selalu bertanya-tanya apakah istrinya masih setia mengamati? Bangga atau justru murka dengan keputusan Pak Tua yang mengizinkan anak-anaknya pergi bertualang ke kota?
Tetiba angin dari arah ladang bertiup, seolah-olah memberi isyarat bahwa istrinya masih mengamati Pak Tua. Pelupuknya berembun, matanya terpejam. Udara yang bertiup itu merengkuh kulitnya yang sudah keriput. Ada sensasi geli menggelitik hingga membuat bulu tengkuknya merinding.
"Aku baik-baik saja, terima kasih telah bertanya," kata Pak Tua monolog, anjingnya mengangkat salah satu telinganya lalu terlelap kembali.
Pak Tua menyeka air matanya dan berbisik kepada sang angin, "Aku merindukanmu juga, tolong maafkan aku."