Mohon tunggu...
Rangga Babuju
Rangga Babuju Mohon Tunggu... -

BABUJU adalah Komunitas Penggiat Kajian Sosial dan Budaya Bima dan intens dalam analisis serta Investigasi & Advokasi Budaya & Konflik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Antara Kenaikan BBM, Sosialita dan Kata ‘Sejahtera'

19 November 2014   06:11 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:26 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam dua hari ini, entah sudah berapa status yang mencak-mencak, mencaci maki dan memprovokasi keadaan terkait kenaikan BBM yang dilakukan oleh Presiden yang baru terpilih beberapa waktu yang lalu, Jokowi – JK. Namun tidak sedikit pula yang pro atas kenaikan BBM tersebut, terlepas apakah mereka yang pro itu adalah Jokowers atau followers. Namun yang pastinya, ribuan postingan dari ratusan account Facebook selama seharian ini (sejak dini hari tadi),  mengutuk kenaikan BBM kali ini dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500 untuk jenis premium.

Beberapa tulisan dimedia online juga sempat saya ikuti, tidak ada yang berlebihan sesungguhnya. Fenomena dan euphoria penolakan menaikan BBM kali ini sama dengan ungkapan dan bahasa-bahasa penolakan tahun lalu. Saya teringat ketika Presiden SBY saat itu memainkan politik populis dengan mempengaruhi sidang Paripurna kenaikan harga BBM pada bulan Maret 2012. DPR saat itu akhirnya memutuskan untuk tidak menaikan harga BBM dengan beberapa Opsi  hingga bulan September 2012. Ironinya, harga Kebutuhan Pokok yang terlanjur naik saat itu tidak langsung turun pada saat itu juga dan malah ada yang naik dan tidak turun-turun hingga hari ini. atas fenomena tersebut, tidak ada yang ribut meski beberapa harga barang sudah terlanjur naik dan enggan turun kembali meski BBM tidak jadi dinaikan.

Melihat gejolak akhir-akhir ini, berdasarkan pengamatan di media sosial, Kontroversi kenaikan BBM yang dilakukan pada senin, 17 November 2014 lebih pada gejolak dendam politik dan gejolak sakit hati dengan mengedepankan icon ‘salah pilih’, ‘siapa suruh pilih’, ‘salam 2 ribu’ dan lainnya. Hal ini menjadi tidak murni sebagai penolakan dalam kesadaran sosial. Kencenderungan mem-Bully secara person menjadi semakin menonjol dalam setiap kontra yang ada. Kesannya adalah yang Kontra lebih kelihatan menjadi Followers saja atau pengikut tanpa mendasarkan hitungan, Followers diajak memahami konteks efek kerugian secara rasional bukan secara logis. Alasannya adalah menaikan Harga BBM saat minyak mentah dunia sedang turun.

Saya bukan sedang mendukung kenaikan BBM kali ini, tetapi saya mencoba melihat sisi positif ditengah opini negative yang terbangun. Saya pun bukan pendukung Prabowo yang mencoba memanas-manasi situasi, tetapi kita sedang lupa bahwa kita sedang menghabiskan energy untuk sesuatu yang sesungguhnya kita sendiri  tidak paham dengan scenario kenaikan BBM kali ini. Namun yang pasti, saya menyerahkan sepenuhnya kepada 60 porsen akademisi yang diangkat sebagai Menteri pada ‘Kabinet Kerja’ kali ini. mereka lebih paham dalam hal analisis akademik dan sosial.

Saya melihat ada kesan bahwa kita Menolak kenaikan BBM akibat maindset kita yang selalu ingin yang murah meriah, kalau bisa gratis. Memang kata ‘gratis’ itu menjadi impian bagi semua orang. Namun kita tidak sadar, dengan rendahnya harga dan murahnya produk yang kita inginkan, kita cenderung menjadi penganut paham Hedonisme dan Pemalas. Hedonisme ini dilahirkan oleh paham individualisme.

Dalam kajian sejarahnya, Hedonisme ini muncul sekutar 433 SM, diawali oleh Sokrates yang menanyakan tentang apa yang sebenarnya menjadi tujuan akhir manusia. Lalu Aristippos dari Kyrene (433-355 SM) menjawabnya dengan pemikiran bahwa yang menjadi hal terbaik bagi manusia adalah kesenangan. Dalam era globalisasi dan modernisasi saat ini, pandangan hidup hedonisme telah menjadi trend bagi sebagian besar kalangan. Mereka memiliki pemahaman yang mementingkan kesukaan dan kemewahan dalam kehidupan, tanpa menghiraukan larangan agama dan tatasusila. Kesenangan, kesukaan dan kemewahan di era globalisasi dan modernisasi ini dilambangkan dengan uang.

Akibat Hedonis ini kita kemudian menjadi masyarakat konsumerisme yang ‘berkembangbiak’ menjadi Masyarakat Sosialita. Dalam beberapa kamus dan artikel tentang masyarakat Sosialita ini diartikan bahwa masyarakat yang memiliki kecenderungan atau cita-cita hidup dengan bergelimangan harta, glamour, hobi belanja, hobi jalan-jalan dan selalu ingin hidup tenang dan senang tanpa bekerja keras.

Sosialita tak ubahnya seperti syndrome yang muncul ditengah masyarakat kita. Hal ini didukung oleh latah budaya atau hidden goal yang ingin dicapai oleh sekelompok orang atau secara individu yang ingin mengklaim dirinya sebagai elite society. Untuk membedah kerangka berpikir atau mendekatkan maindset kita pada konsep sosialita ini, kita perlu membedah konsep one dimensional society-nya Herbert Marcuse serta konsep masyarakat konsumsi – nya Jean P. Baudrillard. One Dimensional Society atau “Masyarakat dengan kesadaran satu dimensi” merupakan istilah yang digunakan Marcuse guna mempresentasikan “Masyarakat yang lumpuh daya kritisnya”.

Menurut  Jean P. Baudrillard, pola konsumsi masyarakat modern ditandai dengan bergesernya orientasi konsumsi yang semula ditujukan bagi “kebutuhan Hidup” menjadi “Gaya Hidup”. Dan itulah kita, coba kita bayangkan bahwa kita hari ini menolak kenaikan BBM, tetapi justru hampir tiap bulan kita mengunjungi Mall atau kita belanja di Hypermarket, mengganti HP hampir tiap bulan, beli pulsa hampir tiap minggu meski ditipu oleh Provider karena program-program yang mereka tawarkan dan menghisap pulsa yang kita miliki. Hampir tiap hari kita membeli Rokok untuk sekedar Trendy, dan ironinya, hampir Tiap hari kita makan diluar rumah meski mahal hanya karena ingin menunjukan status sosial kita dihadapan orang banyak. Kita menolak atas nama rakyat kecil yang tercekik, padahal kita tidak sadar bahwa rakyat kecil ikut bahagia dengan naiknya BBM, karena mereka bisa menjual sesuatu dengan menaikan harga barang dagangan mereka yang tidak seberapa (menurut kita) dari harga semula. Petani bisa menjual hasil taninya dengan menaikan sedikit harga jualnya untuk mendapatkan keuntungan yang lebih baik dengan alasan naiknya BBM.

Demikian juga nelayan, bisa menaikan sedikit harga jual dari hasil tangkapannya dengan asumsi naiknya BBM. Demikian pula tukang ojek, tukang becak, sopir bus dan lainnya. Mereka tersenyum, setidaknya, sebelum BBM naik, mereka hanya bisa bawa pulang hasil keringat mereka dengan kisaran Rp 30.000 – 60.000, tetapi dengan naiknya BBM, mereka bisa bawa pulang kisaran Rp 60.000 – 100.000. mereka-mereka yang disebutkan diatas itu adalah orang-orang yang selama ini kita anggap remeh dan malah tidak kita anggap bukan…?? Lantas, siapa yang dirugikan sebenarnya…? Bukankah Kita yang sok Metropolis, kita yang sok Kaya (atau pura-pura kaya), kita yang bercita-cita hidup mewah tapi tidak sadar sedang berada dikolong jembatan lah yang berteriak lantang karena Posisi nyaman ini 'terenggut' oleh kebijakan itu?. Yang dirugikan akibat naiknya BBM ini adalah Kaum Hedonis dan Glamour yang setengah isi setengah kosong….!!!

Bila alasannya adalah pasal 33 UUD 1945 ayat (3) “Bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat”. Maka, sangat salah penempatannya ketika kita posisikan dalam hal kenaikan BBM ini. Sebab Bumi, Air dan Kekayaan alam didalamnya tidak hanya Premium, tetapi termasuk Emas, Perak, Tembaga, Pasir besi, ikan, permata, mutiara, air (mineral) dan lainnya. Premium yang konon dekat dengan kepentingan rakyat, yang lebih cenderung diteriakkan oleh kita yang sudah terlanjur merasa nyaman dengan Harga yang ada adalah sebagian kecil dari banyak hal yang tak kita sadari. Ini khan posisi status Quo yang terlalu egosentrise.

Yang merasa dirugikan akibat kenaikan ini semua adalah Mahasiswa yang sudah terlanjur nyaman dengan Status Quo yang didapat. Disamping itu, yang dirugikan adalah pemilik perusahaan-perusahaan yang akibat naiknya BBM mendapatkan keuntungan yang sedikit, lalu mencoba menggerakkan massa untuk menolak agar keuntungan mereka tidak jeblok. Yang dirugikan lainnya, adalah para Pelayan Rakyat (Birokrasi) secara individu yang tidak mendapatkan kenaikan Gaji dan tunjangan lainnya sehingga untuk disisipkan dalam peningkatan status sosial tidak tercapai. Sehingga secara wajar para oknum diantara mereka memprovokasi untuk melakukan gerakan menolak kenaikan BBM, sebab, besok lusa oknum-oknum ini tidak bisa lagi bergaya ditengah ketatnya pemeriksaan BPK dan BPKP atas kinerja dan keuangan mereka di kantor.

Dan yang senyum secara nyata adalah para pedagang kecil yang bisa sedikit menaikan harga, para pemuda kreatif yang mampu menciptakan peluang usaha, para mereka yang memiliki Inovasi membangun prospek dirinya menjadi lebih memiliki bargaining. Para mereka yang terpelajar yang melihat kenaikan BBM ini sebagai peluang untuk membuka lapangan kerja yang inovatif serta para masyarakat yang sadar bahwa kenaikan BBM ini akan menjadi landasan untuk meraih kesejahteraan yang lebih baik dari potensi-potensi yang mereka miliki seperti para tukang batu, tukang kayu, tukang kebun dan masyarakat kecil bakulan yang terbiasa menjual barang dagangan dari rumah ke rumah.  Merekalah ‘Kesejahteraan’ itu.

Negara diuntungkan dengan menaikan BBM kali karena bisa membayar cicilan Utang luar negeri yang mencekik ‘gerakan membangun bangsa’. Negara diuntungkan dengan menaikan BBM kali ini karena bisa menghemat APBN untuk keperluan public seperti infrastruktur penghubung dari wilayah yang satu dengan wilayah yang lain. Dan yang paling beruntung adalah para Intelektual muda yang mampu melihat semua ini sebagai Peluang untuk menata masa depan yang lebih baik.

Suka tidak suka, mau didemo atau tidak didemo, BBM akan tetap naik dari waktu ke waktu karena Minyak mentah semakin menipis. Sebab Sumber Daya Alam yang satu ini adalah SDA yang tidak dapat diperbaharui. Dan saya pun yakin, bahwa scenario menaikan BBM ini sudah dipikirkan secara matang dengan target dan tujuan yang jelas pula…..!!

Selamat Berjuang para Manusia Indonesia ditengah keterbatasan akibat naiknya BBM, sebab hampir semua orang sukses membangun dirinya akibat berbagai keterbatasan yang dimiliki. Dan Selamat Tinggal “Kemalasan” sebab, akibat malas inilah yang membuat kita mempertahankan ‘Status Quo’ karena terlanjur mengecap enak dan nikmatnya  hal-hal yang murah meriah. Sebab dengan murah meriah yang telah ada secara instan, kita sebagai masyarakat yang memiliki budaya Konsumerisme tinggi, akan memacu diri untuk bekerja lebih baik, belajar lebih banyak dan menyadari hidup lebih jauh...!!! Jika tidak, mari kita sama-sama ucapkan Selamat Datang Kesengsaraan setelah kesenangan….

Kota Mataram, Ditengah Mendung setengah hujan….!!

18 November 2014.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun