Hari ini ketika kita berbicara tentang 'waktu senggang', 'waktu luang', atau mungkin 'wektu selo' dalam bahasa Jawa, maka yang terlintas dalam benak adalah hal-hal yang berasosiasi dengan kesenangan, konsumerisme, dan kenikmatan. Tiga kata yang masih bersifat abstrak tersebut (kesenangan, konsumerisme, kenikamatan), jika diejawantahkan dalam konsep yang lebih bersifat konkret dan praksis, maka akan ditemui konsep-konsep seperti wisata, healing, touring, belanja, mall, spa, bioskop, dan berbagai hal yang secara substansi berlawanan dengan konsep yang lekat dengan aktivitas bekerja. Konsep-konsep tersebut merupakan manifestasi dari rasa keinginan untuk lepas dari kepenatan yang dihasilkan oleh aktivitas bekerja, baik secara fisik maupun mental.
Waktu senggang dalam pemahaman umum merupakan aktivitas yang disengaja sebagai antogonis dari laku bekerja. Maka, waktu senggang semacam ini eksistensinya tergantung dari eksistensi konsep lain, yakni 'bekerja'. Ia hadir bukan untuk dirinya sendiri, sebab merupakan respon dari situasi tertentu. Ia bukan merupakan sebuah pilihan sadar, sebab hanya sebatas reaksi spontan terhadap keadaan tertentu: perasaan lelah fisik dan mental, kemuakan atas hubungan-hubungan kerja, dan situasi lain yang tidak menguntungkan. Waktu senggang dalam pandangan mainstream adalah 'waktu lain' yang diadakan sekadar untuk berbeda dengan 'waktu bekerja'. Lebih jauh lagi, bahkan waktu senggang berasosiasi dengan kemalasan (laziness).
Dalam buku Kebudayaan dan Waktu Senggang karya Fransiskus Simon ( 2006: 60-66) dijelaskan bahwa waktu senggang ala Joseph Pieper adalah suatu waktu yang seharusnya tidak harus dipertentangkan dengan waktu bekerja. Pandangan umum yang mempertentangkan konsep waktu senggang dan laku bekerja, menurut Pieper, dilandasi pemahaman atas pengertian 'bekerja' sebagai kegiatan yang memadukan beberapa hal, seperti ketegangan antara kapasitas dan kapabilitas bertindak, kesediaan untuk menderita, dan kesiapan menjadikan laku bekerja sebagai wahana merengkuh makna terdalam dari kehidupan. Jika ketiga indikator tersebut yang dijadikan dasar dalam memahami laku bekerja, maka tidak mengherankan apabila waktu senggang lekat dengan kemalasan (laziness).
Kerja Sebagai Aktivitas Natural ManusiaÂ
Sejarah peradaban manusia yang terentang jauh ke belakang mencatat bahwa manusia tak pernah terpisah dari praktik 'bekerja' (Untuk memahami konsep Kerja menurut Karl Marx baca buku: Kapital karya Karl Marx; Pemikiran Karl Marx karya Franz Magnis-Suseno; Karl Marx, Revolusi, dan Sosialisme karya Ken Budha Kusumandaru, dll). Bekerja, dengan berbagai konsep dan indikatornya, selalu menjadi bagian tidak terpisahkan dari sepak terjang manusia menjalani kehidupannya. Beberapa analisis sosial dari para pemikir bahkan mengklaim bahwa bekerja merupakan aktivitas natural manusia yang menjadi dasar fundamental untuk eksistensinya.
Karl Marx, misalnya, filusuf yang memproklamirkan Manifesto Komunisme bersama Fredrich Engels tersebut mempunyai beberapa perspektif untuk memaknai kerja dalam konteks kehidupan manusia. Pertama, Marx menganggap kerja merupakan penanda perbedaan antara manusia dengan hewan. Jika hewan 'bekerja' berdasarkan dorongan-dorongan instingtif untuk sekadar mempertahankan hidupnya, sebaliknya manusia bekerja dalam rangka mengkonkritkan ide-ide yang ada di dalam benaknya. Marx memberikan analogi dengan membandingkan cara kerja laba-laba dengan seorang arsitek. Laba-laba membangun struktur tempat tingggalnya yang rumit secara spontan dan instingtif, sebaliknya seorang arsitek, yang paling bodoh sekalipun, membangun bangunan berdasarkan konsep dan ide yang ada di dalam benaknya. Dengan demikian, di akhir pembangunan, sang arsitek dapat melakukan evaluasi terhadap apa yang telah dikerjakan: sudah sesuai atau belum dengan konsep atau ide awal yang ada di kepalanya; lebih baik atau lebih buruk dari konsep awal yang ada di benaknya; dan seterusnya. Hal ini yang menyebabkan manusia atau arsitek dapat melakukan revisi dan perbaikan. Revisi dan perbaikan yang dilakukan tersebut menjadi dasar berkembangnya kebudayaan manusia. Fakta ini yang tidak dapat ditemui di dunia hewan.
Kedua, bagi Marx, bekerja juga merupakan aktivitas khas manusia untuk mengubah alam. Dalam perspektif ini alam menjadi sesuatu yang memang disediakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Kebutuhan-kebutuhan hidup manusia hanya dapat terpenuhi jika manusia mempunyai kemampuan untuk menundukkan alam. Kerja merupakan sarana manusia untuk mengembangkan kreativitas produktif. Di sisi yang lain, aktivitas kerja manusia terkesan menjadikan alam sebagai objek eksploitasi. Ketiga, kerja merupakan usaha manusia untuk menegaskan eksistensinya. Melalui praktik bekerja manusia menemukan rasa bangga, puas, dan bahagia. Bangga atas pencapaian kerjanya; puas dengan hasil kerjanya; dan bahagia bahwa pencapaian dan hasil kerjanya dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, sekaligus dihargai orang lain.
Selain Marx, Joseph Pieper juga memiliki pandangan terkait aktivitas kerja ala manusia (Fransiskus Simon, terutama halaman 62). Bagi Pieper, kerja merupakan aktivitas yang menggabungkan kapasitas untuk bertindak, kesiapan dan kierelaan untuk menderita, dan penerimaan atas fakta bahwa kerja merupakan wahana peleburan diri yang total dalam kehidupan dan organisasi sosial untuk mendapatkan makna. Dengan batasan-batasan semacam itu, maka waktu luang akan terlihat sebagai bentuk dari kemalasan (laziness). Namun, dengan menjadikan pandangan Thomas Aquinas: "Kemalasan justru adalah kemandulan menggauli waktu senggang, dan kehilangan kejedaan menyebabkan pengkultusan terhadap kerja, karena kerja dipandang hanya sebagai demi kerja semata", maka waktu senggang bukanlah suatu bentuk kemalasan.
Lebih jauh lagi, Pieper mendakwa bahwa hari ini kerja telah dikultuskan secara ekstrem. Bekerja akhirnya setara dengan berdoa. Orang yang tidak bekerja dekat dengan dosa. Pengkultusan kerja ini yang menyebabkan dehumanisasi di segala bidang kehidupan. Kerja bukan lagi sarana ekspresi eksistensi manusia yang bernilai sakral, serta tak mempunyai fungsi sosial. Dalam konteks aktivitas bekerja, manusia terjebak pada rutinitas, otomatisasi, dan mekanisasi.
Jika menggunakan perspektif Pieper tentang kerja, maka makna kehidupan manusia adalah kerja total. Manusia seperti tokoh Sisifus dalam buku Le Mythe de Sisyphe karya Albert Camus: bekerja tanpa tahu apa maknanya, namun demikian terus dilakukan. Seorang pegawai kantoran setiap pagi datang ke kantor mengerjakan tugas secara rutin seperti hari sebelumnya, dan sebelumnya lagi. Pada awalnya, pegawai tersebut mengerjakan semuanya dengan penuh rasa tanggung jawab. Namun, ketika proses dehumanisasi dalam dunia kerja terjadi, seperti: pimpinan yang sewenang-sewenang; beban kerja yang melebihi kepatutan; apresiasi terhadap kinerja yang kurang; dan berbagai hal lain yang kurang menguntungkan bagi si pegawai, maka perlahan pegawai tersebut kehilangan aspek motivasi dan tanggug jawab dalam pekerjaannya. Selanjutnya, pegawai tersebut akan memaknai pekerjaannya di kantor sebagai sesuatu yang rutin dan kering akan makna. Pada tataran yang paling ekstrem bahkan ia hanya akan menjalaninya secara otomatis dan mekanis yang cenderung tanpa kesadaran. Berangkat kerja ke kantor merupakan aktivitas menggugurkan kewajiban semata.
Secara garis besar kita dapat menemukan sebuah keserupaan antara pandangan Karl Marx dan Joseph Pieper tentang aktivitas kerja. Keduanya memposisikan kerja sebagai aktivitas yang secara eksplisit maupun implisit mengisysratkan eksistensi manusia. Dengan bekerja manusia 'mengada'; mewartakan 'kediriannya' yang khas dan unik pada khalayak. Di sisi yang lain, kerja bagi Marx dan Pieper juga merupakan aktivitas 'bermakna dalam', dan bukan merupakan aktivitas khas hewani yang hanya dipandu oleh insting bertahan hidup. Maka, bekerja merupakan aktivitas sadar manusia, apa pun yang dikerjakan. Aktivitas sadar tersebut memiliki makna mendalam sekaligus membentuk identitas biografis dan eksistensial manusia.
Berangkat dari pandangannya tentang aktivitas bekerja yang lekat dengan proses dehumanisasi, jauh dari proyek eksistensial manusia, dan bermakna dangkal, maka Pieper menawarkan konsep waktu senggang sebagai wahana untuk mengembalikan eksistensi serta makna kemanusiaan ke posisi mulanya.
Waktu Senggang ala Joseph Pieper
Untuk memahami arti 'waktu senggang' dalam perspektif Joseph Pieper, sekaligus menghindarkan dari kesalahpahaman konseptual terkait dekatnya waktu senggang dengan 'kemalasan', maka perlu untuk mengetahui ciri dan konteks waktu senggang yang dimaksud. Waktu senggang Joseph Pieper lahir dalam konteks situasi sosio-kultural kehidupan Pieper saat itu. Â Saat itu kehidupan manusia telah kehilangan sisi kemanusiawiannya karena telah tunduk total pada laku bekerja. Manusia tidak lagi memiliki waktu luang secara fisikal atau nyata karena terperangkap dalam jerat pekerjaan. Dengan demikian, manusia tidak lagi memiliki kesempatan untuk melakukan kontemplasi dan pengembangan daya imajinasi yang manjadi dasar bagi perkembangan sisi intelektualitas dan spiritualitasnya.
Waktu senggang bagi Pieper merupakan sebuah jeda dari kerja yang menitikberatkan pada laku-sikap kontemplatif, imajinatif, dan penggunaan daya kognitif. Jika digunakan penjelasan yang lebih sederhana, waktu senggang merupakan aktivitas memanfaatkan 'jeda' untuk kegiatan intelektual. Di sisi yang lain, ia sekaligus aktivitas menyelami spiritualitas. Pemahaman akan waktu senggang seperti ini akan terlihat lebih jelas jika dioposisi binerkan dengan 'laku bekerja-total'.
Selanjutnya muncul pertanyaan, bagaimana dengan profesi-profesi yang menonjolkan aspek intelektualitasnya dalam bekerja, seperti dosen, guru, seniman, dan rohaniawan, apakah mereka juga dianggap tidak mengakrabi waktu senggang. Secara sekilas profesi-profesi tersebut memenuhi indikator laku intelektualitas yang disyaratkan oleh waktu senggang, yakni daya kontemplasi, imajinasi, dan kognitif. Pieper menjelaskan, jika dikontekskan dengan tradisi atau masyarakat yang sama sekali tidak mengenal waktu senggang (baca: kerja total), maka profesi-profesi tersebut merupakan bentuk aktivitas khas waktu senggang. Namun, meskipun ia khas waktu senggang, aktivitas kerja dalam profesi-profesi tersebut masih dalam mode of doing. Intelektualitas yang hadir dalam pekerjaan seperti dosen, misalnya, masih dapat dicurigai sebagai bentuk penunaian tanggung jawab semata karena memang sudah pekerjaannya. Waktu senggang ala Pieper menuntut aktivitas intelektual yang dilakukan oleh seorang dosen, seperti berdialektika, membaca, menulis, meneliti, Â mengukur, mengevaluasi, merekonstrksi, harus merupakan mode of being. Jadi, ketika seorang dosen melakukan aktivitas menulis, meneliti, membaca, dan berdialektika, hal-hal tersebut harus merupakan bentuk pengejawantahan eksistensinya sebagai seorang intelektual, sekaligus passionnya dalam kehidupan, alih-alih sekadar penunaian tanggung jawab karena sudah dibayar, atau alasan ekonomistis dan pragmatis semata.
Pada tataran ini, menjadi jelas bahwa mode of being merupakan unsur vital dalam memahami aktivitas khas waktu senggang ala Joseph Pieper (Fransiskus Simon, 87-89). Tanpa mode of being, segala aktivitas berpotensi terjebak pada kedangkalan makna dan kebanalan. Waktu senggang dan segala aktivitas di dalamnya dilakukan dengan penuh kesadaran oleh subjek sehingga, menurut Pieper, bukan subjek yang berusaha keras menyingkap realitas dengan segala misterinya, namun realitas itu sendiri yang akan menyingkapkan diri di hadapan sang subjek.
Memahami Sifat Waktu SenggangÂ
Pieper dalam bukunya mengembangkan sebuah analisis Filsafat yang mengaitkan waktu senggang dengan sifat 'perayaan' dan 'pembebasan'. Pertama, Pieper menganggap bahwa inti dari waktu senggang adalah perayaan. Dalam perayaan tidak ada usaha yang berlebihan. Manusia yang mengapresiasi waktu senggang akan membiarkan realitas adikodrati atau Yang Maha-ada merasuki dan menjamah dirinya (Fransiskus Simon, 70-87). Tanpa perlawanan, sang subjek justru merayakan perjumpaan dan persentuhannya dengan Yang Maha-ada tersebut. Analisis Pieper ini mungkin memaksa kita mengernyitkan dahi. Hal ini tidak mengherankan sebab ananlisis Pieper merupakan analisis filsafat yang kadang sangat abstrak.
Untuk memudahkan pemahaman, Pieper memberikan sebuah gambaran. Dahulu kala ketika zaman Yunani dan Romawi Kuno, masyarakat memiliki waktu senggang untuk berdiam diri, berkontemplasi, dan mengunyah spiritualitas, seperti kita hari ini. Laku ini diwujudkan dengan membangun kuil atau candi pemujaan. Pieper beranggapan pemujaan dan pembangunan kuil hanya dapat dilakukan jika orang memahami waktu senggang. Kerelaan untuk menyisihkan waktu untuk hal-hal semacam itu merupakan bentuk dari hubungan pemujaan dan waktu senggang. Bagi Pieper perayaan dan waktu senggang merupakan inti dari pemujaan (Fransiskus Simon, 68)). Dengan demikian, waktu senggang merupakan sebuah bentuk perayaan. Perayaan yang bernuansa sakral.
Kedua, waktu senggang bagi Pieper memiliki sifat membebaskan. Pembebasan dalam konteks waktu senggang masih terkait dengan konsep perayaan. Perayaan mengisyarakatkan sikap dan situasi bebas. Maka, dalam perayaan, subjek bebas mengekspresikan diri; subjek terbebas dari bersikap dan berpikir sesuai dengan arahan otoritas, dan; subjek bebas mengakrabi jeda di luar aktivitas kerja untuk mengasah intelektualitas serta spiritualitasnya.
Jika kita analisis menggunakan paradigma pembebasan, maka realitas sosial yang kita temui sehari-hari dapat dikaitkan dengan waktu senggang. Kritisisme terhadap penguasa, misalnya, hanya dapat dilakukan jika waktu senggang dihargai. Kritik, masukan, dan pemikiran alternatif yang disampaikan kepada penguasa dapat diproduksi dalam waktu senggang. Ketika waktu senggang tidak diakrabi, dan hanya fokus pada laku bekerja, maka kritisisme tidak akan terjadi.
Konsep pembebasan dalam konteks waktu senggang masih dapat dieksplorasi lebih jauh dengan merujuk pada beberapa indikator. Pertama, pembebasan merupakan sebuah praktik untuk mengubah situasi, dari keterkungkuangan ke kebebasan. Kedua, pembebasan merupakan usaha untuk menanamkan kesadaran baru yang memungkinkan terjadinya transformasi sosial dan budaya. Ketiga, pembebasan merupakan situasi perebutan makna di tengan ranah (field) budaya dan sosial. Keempat, pembebasan merupakan sebuah kritik ideologi yang dapat berujung pada tejadinya perubahan nilai, sehingga menghindarkan sebuah pandangan, kebudayaan, sistem nilai dan norma dikultuskan tanapa kemungkinan kritik. Empat indikator konsep pembebasan tersebut hanya dimungkinkan ketika waktu senggang diakrabi. Sebuah praktik pembebasan, dengan indikator yang mana pun, memerlukan strategi yang matang agar berhasil. Waktu senggang memberikan kesempatan untuk berkontemplasi, merenungi, manafsir, mengevaluasi, dan mengukur. Konon, revolusi Perancis yang masyhur itu, berawal dari diskusi di caf-caf kota Paris. Para revolusioner Perancis masa itu mengakrabi waktu senggang dalam ruang-ruang  diskursif yang santai.
Rocky Gerung: Waktu Senggang Sebagai Kritik Kebudayaan
Beberapa waktu belakangan, khususnya sepuluh tahun terakhir, kita melihat dan akrab dengan sepak terjang Rocky Gerung. Ahli filsafat yang kerap muncul dalam acara-acara talk show politik dan kajian sosial-budaya tersebut seolah tidak pernah lelah memberikan pandangan-pandangan kritis, bahkan cenderung dekonstruktif, terhadap berbagai fenomena sosial yang tengah terjadi di masyarakat. Lebih jauh, Rocky bahkan gemar menguliti habis kebijakan-kebijakan pemerintah yang dianggapnya tidak tepat. Ia seperti pendekar mabuk yang menghantam siapa saja yang dianggap sesat berpikir, tidak rasional, dan anti-akal sehat. Rocky menyebut pihak-pihak tersebut sebagai "Dungu". Dalam realitas kita hari ini, sosok Rocky Gerung mungkin dapat dijadikan contoh bagaimana subjek mengakrabi waktu senggang.
Waktu senggang memberikan peluang bagi sebuah masyarakat untuk melakukan aktivitas kritisisme. Sebuah tata nilai dapat dievaluasi kembali, bahkan direkonstruksikan kembali menjadi sesuatu yang baru. Di samping itu, cara pandang dan berpikir dari sebuah komunitas masyarakat yang telah membeku menjadi sangat ideologis dan menolak kemungkinan-kemungkinan alternatif lain dapat juga dikoreksi dan direvolusionerkan. Semua itu menjadi mungkin melalui praktik kritik kebudayaan yang pada awalnya mensyaratkan daya kontemplasi, imajinasi, dan kognitif (Fransiskus Simon, 94-97).
Apa yang dilakukan oleh Rocky Gerung dapat dibaca sebagai pengejawantahan laku-sikap mengakrabi waktu senggang. Ia melakukan praktik kritisisme di setiap kesempatan, pada setiap wacana publik yang sedang berkembang, dan melalui berbagai mimbar yang didatanginya. Sikap kritisnya tersebut tidak jarang menuai pro-kontra di tengah masyarakat, terutama jika yang dikritiknya adalah kebijakan terkait pemerintahan dan keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Untuk dapat mahfum dengan apa yang dilakukan oleh Rocky Gerung, kita perlu memahami sebuah teori kebudayaan yang memandang bahwa kebudayaan, termasuk di dalamnya tata nilai, cara pandang, dan konvensi-konvensi budaya lainnya, merupakan sebuah proyek. Artinya, kebudayaan merupakan sebuah proses yang terus berlangsung dan tidak akan pernah menemui tanda titik atau ujung pangkalnya. Maka, akan selalu ada proses dekonstruksi-rekonstruksi di dalam kebudayaan. Hal ini sebangun dengan paradigma berpikir Hegelian, yakni dialektika tesis-anti tesis (Baca buku Filsafat Sejarah Hegel). Kebudayaan sebagai sebuah kata benda maupun kata kerja bukan sesuatu yang given atau 'terberi' dari langit. Ia melalui serangkaian 'proses', baik dalam artinya yang positif maupun negarif: (re) produksi makna, prerebutan tafsir atas realitas, akulturasi, pertarungan wacana, inkulturasi, dan bentuk-bentuk praktik kebudayaan lainnya.
Dalam konteks hari ini, kita dapat berargumen bahwa Rocky Gerung 'seperti' selalu menjadi anti tesis bagi pemerintah atau otoritas yang sedang berkuasa. Ia seperti selalu memiliki pemaknaan serta tafsirnya sendiri atas realitas sosial, yang kadang bertentangan dengan tafsir penguasa. Jika kita mendalami lagi berbagai teori kebudayaan, maka akan dijumpai pandangan bahwa 'Kebudayaan', meminjam istilah Pierre Bourdieu, merupakan ranah/ field pertarungan perebutan makna atas realitas (Baca buku tentang pemikiran Pierre Bourdieu, salah satunya: (Habitus x modal) + ranah = praktik : pengantar paling komprehensif kepada pemikiran Pierre Bordieu). Jadi dalam konteks akademis dan ilmiah, apa yang dilakukan oleh Rocky Gerung sah-sah saja Â
Rocky Gerung: Waktu Senggang Sebagai Artes Liberales
Rocky Gerung merupakan seorang pengajar, khususnya tentang filsafat. Maka tidak mengherankan, caranya dalam menyampaikan pandangan atau argumen selalu dalam bentuk penjelasan-penjelasan konseptual, yang kadang jika ditelisik secara teliti beraroma retoris. Pada beberapa kasus, kadang penjelasan atau argumennya hanya berupa permainan kata-kata yang kurang menyentuh substansi, terlebih jika yang sedang dibahasnya adalah hal-hal yang di luar kemampuan dan bidangnya. Namun demikian, daya kritis yang dimiliki oleh Rocky Gerung, serta kegemarannya dalam berdialektika, serta kemampuannya dalam beretorika, menjadikannya seseorang dengan kemampuan yang dalam masa Yunani Kuno disebut dengan Artes Liberales (fransiskus Simon, 91-94).
Artes Liberales sendiri dalam masa Yunani Kuno merupakan kemampuan yang membedakan antara seorang budak dan orang merdeka. Artes Liberales bermula dari pemikiran Aristoteles dalam bukunya Metaphysics yang kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Filsuf Thomas Aquinas. Kurikulum Artes Liberales mengajarkan kemampuan atau keterampilan-keterampilan penting yang hanya dapat diberikan kepada orang-orang merdeka. Kurikulum ini sering dihadap-hadapkan dengan kurikulum  Artes Serviles, yakini keterampilan-keterampilan yang hanya dapat diberikan kepada para budak. Jika suatu pekerjaan atau aktivitas dalam konteks artes liberales dihargai dengan penghormatan, sebaliknya aktivitas dalam rangka artes serviles dihargai dengan materi atau upah. Penghormatan yang diperoleh dari artes liberales lebih menghadirkan kepuasan eksistensialis, sedangkan penghargaan materi yang diperoleh dari artes serviles berasosiasi dengan kepuasan ragawi semata.
Waktu senggang ala Joseph Pieper yang identik dengan aktivitas kontemplatif, imajinatif, kognitif dan menubuh dalam laku intelektual dapat disebut juga sebagai salah satu bentuk artes liberales. Maka, apa yang dilakukan oleh Rocky Gerung dalam konteks aktivitas kritik kebudayaannya dapat dikatakan sebagai keterampilan dalam arti artes liberales. Aktivitasnya berdialektika, melakukan tafsir sosial atas fenomena di masyarakat, mendekonstruksi tata nilai mapan yang dianggap merugikan masyarakat merupakan kemampuan dalam konteks artes liberales, seperti orang-orang merdeka zaman Yunani Kuno yang kerap berkontemplasi dan berdiskusi untuk mengisi waktu. Para budak zaman itu tidak punya waktu untuk aktivitas semacam itu, dan sudah tentu tidak memiliki keterampilan dalam arti artes liberales. Mereka hanya memiliki kemampuan artes serviles, yakni keterampilan kasar yang mengandalkan otot daripada otak.
Aktivitas artes liberales yang dilakukan oleh Rocky Gerung lebih mengharapkan imbalan berupa penghormatan dan pengakuan dalam konteks eksistensialis. Ia sendiri mengaku pernah mengajar mata kuliah Filsafat di Universitas Indonesia selama bertahun-tahun tanpa menerima honor, dan itu atas permintaannya sendiri. Dapat dilihat di sini, Rocky Gerung seolah sangat menghayati kemampuan artes liberales yang dimilikinya.
Rocky Gerung: Waktu Senggang Sebagai Proses Pe(ndunguan)mberadaban
Memahami Kebudayaan sebagai sebuah proses yang tidak berkesudahan, termasuk di dalamnya proses belajar, berarti memahi juga bahwa berkebudayaan merupakan sebuah proses pemberadaban. Menjadi beradab tidak selalu diidentikkan dengan kemajuan pembangunan yang selama puluhan tahun menjadi 'frase sakti' Orde Baru dalam mempertahankan kekuasaan totaliternya. Beradab di sini dapat berarti mampu mengidentifikasi situasi diri dan lingkungannya. Kemampuan mengidentifikasi itu yang nantinya mengantarkan seseorang untuk menyadari posisinya di dalam kehidupan dan masyarakat: menindas-ditindas, superior-inferior, menghegemoni-dihegemoni, dan seterusnya.
Pemberadaban merupakan proses menjadikan subjek mampu mengevaluasi tata nilai yang mapan: apakah tata nilai tersebut menciptakan situasi harmonis di tengah masyarakat, atau justru menindas masyarakat. Pemberadaban juga proses menciptakan subjek yang otonom, tidak terepresi oleh ideologi dan cara pandang tertentu dalam bersikap dan bertindak. Dengan demikian, subjek yang lahir dari proses pemberadaban adalah subjek yang tanpa kemunafikan dan rasa takut mampu mengungkapkan cara pandang, penilaian, dan pilihannya sendiri yang otentik. Melalui waktu senggang proses tersebut terjamin keberlangsungannya.
Rocky Gerung sendiri kerap mengolok-olok orang atau sekumpulan orang yang selalu mengekor dan tunduk pada cara berpikir yang diproduksi oleh otoritas tertentu. Ia menyebut mereka sebagai 'dungu' karena tidak mengikuti akal sehatnya sendiri dalam bersikap dan bertindak. Akal sehat bagi Rocky Gerung merupakan satu-satunya jalan menuju kebenaran. Dengan akal sehat, setiap orang mampu membedah dan menelaah setiap fenomena yang tersaji dihadapannya, sekaligus menjadikannya berpikir otonom dan otentik. Pendunguan yang dilakukan oleh Rocky Gerung seperti sengatan lebah yang menjadikan seseorang tersentak dan menyadari kebebalannya. Seperti Socrates yang hidup di zaman Yunani Kuno, Rocky Gerung adalah lebah penyengat bagi masyarakat yang lembam.
Sumber Bacaan
Kebudayaan dan Waktu Senggang, Fransiskus Simon, Jalasutra, 2006.
Kapital, Karl Marx, Marxists.org,
(Habitus x modal) + ranah = praktik : pengantar paling komprehensif kepada pemikiran Pierre Bordieu, Richard K Harker dkk, Jalasutra, 2009.
Filsafat Sejarah, G. W. F. Hegel , Pustaka Pelajar, 2002
Pemikiran Karl Marx: dari sosialisme utopis ke perselisihan revisionisme, Franz Magnis-Suseno, Gramedia, 2002.
Karl Marx, Revolusi, dan Sosialisme, Ken Budha Kusumandaru, Resist book, 2003
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H