Hari-hari ini kita dapat melihat bahwa, dalam kehidupan sehari-hari, terutama di media sosial, tiba-tiba setiap orang merasa dirinya pakar. Mereka bebas mengomentari, mengulas, menganalisis, bahkan menghakimi setiap fenomena, baik peristiwa ilmiah, spiritual, sosok, atau hal gaib sekali pun dengan berbagai argumen. Bahkan, jika ingin, mereka dapat menciptakan realitas palsu (pseudo reality) untuk kemudian disebarluaskan sebagai kenyataan yang hakiki.
Hari ini, tidak perlu kuliah jurusan politik selama empat tahun dan menyandang sarjana di bidang politik, misalnya, untuk ikut mengomentari peristiwa politik yang tengah hangat, bahkan dengan analisis yang terdengar sangat canggih. Ada juga contoh yang lain: tidak perlu menyandang gelar sarjana bidang astronomi, untuk dapat dengan gagah berani ikut mengklaim kebenaran teori bumi datar, lonjong, atau kotak.
Saat pandemi Covid 19 melanda, bermacam teori dan penjelasan berseliweran di sekitar kita tentang hal-ihwal bencana umat manusia tersebut, baik dari mulut ke mulut maupun di jagat maya. Ironisnya, tidak semua teori dan penjelasan tersebut berasal dari pihak atau orang yang memang memiliki kompetensi di dalam bidang terkait.Â
Lebih jauh, bahkan banyak dari pihak tidak berkompeten itu justru membangun opini atau argumen bahwa vaksin Covid tidak diperlukan karena: haram, merusak tubuh manusia, di dalamnya terdapat chip pihak asing, dan berkarung penjelasan lain yang jika sedikit saja dikaji dengan akal sehat membuat kita tersenyum geli. Namun, faktanya banyak orang yang terpengaruh, dan akhirnya menjadi seorang yang anti vaksin.
Mundur beberapa tahun silam, kita mengenal sosok Rangga Sasana, atau yang lebih dikenal sebagai Lord Rangga. Ia menghebohkan masyarakat dengan klaim dan teori-teorinya. Pentagon milik Amerika Serikat dan Perserikatan Bangsa-Bangsa bermula dari Bandung merupakan salah satu klaimnya.Â
Satu klaimnya yang lain mendistorsi pengetahuan sejarah tentang Nusantara, di mana ia mengatakan bahwa wilayah Nusantara tidak hanya Indonesia, melainkan mencakup 54 negara yang terbentang dari Korea sampai Australia. Pendidikan Rangga Sasana sendiri hanya sampai Sekolah Pertanian Menengah (SPM).
Suka-tidak suka, sepakat-tidak sepak, di sinilah kita sekarang. Era ketika kepakaran tidak lagi menjadi hal vital untuk melegitimasi keabsahan informasi dan penjelasan terkait suatu fenomena atau bidang kehidupan.Â
Era di mana siapa saja, bahkan orang awam sekali pun, dapat merasa memiliki argumen, pendapat, informasi, dan analisis yang lebih andal dari seorang ahli atau pakar, dan tidak segan-segan menyebarluaskannya dengan percaya diri. Lord Rangga dan teoretikus anti vaksin sudah membuktikannya.
Tom Nichols dalam bukunya yang berjudul Matinya Kepakaran mengulas berbagai fenomena terkait matinya kepakaran, mulai dari indikasi-indikasi dan pola penyebabnya.
Secara sedehana, melalui bukunya itu Nichols hendak menyampaikan pesan bahwa hari ini ilmu pengetahuan sebagai penopang kehidupan manusia, yang dihasilkan dari laku ilmiah, sedang dan sudah perlahan disuntik mati oleh bahaya laten anti kepakaran. Artinya, hari ini untuk menjelaskan berbagai hal-ihwal, seseorang tak perlu menyandang gelar pakar yang diraih melalui perjalanan akademis dan intelektual yang panjang.