Program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka (MBKM) dapat dikategorikan sebagai kebijkan dalam ranah pendidikan yang bersifat revolusioner, meski masih compang-camping dalam pelaksanaan di lapangan. Dikatakan revolusioner, sebab program ini secara teknis menerapkan beberapa terobosan yang belum ada di kurikulum pendidikan tinggi sebelumnya.
Misalnya, mahasiswa dimungkinkan untuk menumpuh perkuliahan di luar prodinya sendiri. Mereka bebas memilih beberapa matakuliah yang dianggap sesuai dengan kebutuhan mereka, yang tentu diharapkan memiliki kesesuaian dengan tantangan dan problem yang kelak dihadapi di lingkungan di mana mereka hidup.
Kebebasan untuk memilih merupakan satu hal yang positif, sebab mahasiswa sebagai individu memiliki kesadaran penuh dalam proses pendidikan yang ditempuhnya. Raison d’etre-nya adalah: menentukan pilihan mensyaratkan sebuah kesadaran penuh. Kebebasan dan kesadaran, dua kata kunci yang menjadikan program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka memiliki keterkaitan erat dengan konsep Pendidikan Kaum Tertindas milik Paulo Freire.
Pendidikan Kaum Tertindas
Paulo Freire, seorang filsuf sekaligus aktivis pendidikan asal Brazil, mengembangkan sebuah model pendidikan yang revolusioner. Model pendidikan tersebut diuraikan secara jelas oleh Freire dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Kaum Tertindas.
Buku itu kini menjadi rujukan aktivis pendidikan di seluruh dunia yang menolak model pendidikan konvensional yang memosisikan pendidik (guru, dosen, dan lainnya) sebagai subjek, sedangkan peserta didik (murid, mahasiswa, dan lainnya) sebagai objek dalam proses pengajaran.
Proses belajar dalam model konvensional menjadikan seorang pendidik sebagai pusat kegiatan, sebaliknya murid adalah pelengkap belaka dalam proses tersebut. Pendidikan model konvensional, Freire menyebutnya Pendidikan Gaya Bank, memposisikan guru sebagai ‘yang maha tahu’, sedangkan murid bodoh dan tak mengerti apa-apa.
Pola pengajaran yang terjadi adalah: guru bercerita dan murid patuh mendengarkan; Guru menentukan peraturan, murid diatur; dan seterusnya[1].
Dengan tajam Freire menggugat, bahwa pendidikan yang memposisikan guru sebagai orang yang tahu segalanya, sedangkan murid adalah bodoh, merupakan salah satu manifestasi paling nyata dari ideologi penindasan. Terlebih lagi, Freire melanjutkan, para murid menerima secara mutlak kebodohan mereka sebagai pengesahan dari keberadaan atau eksistensi sang guru. Hal ini bermakna, bahwa dalam proses pendidikan tersebut justru guru atau pendidik yang menjadi aktor utamanya. Murid sebatas unsur yang menunjang eksistensi seorang guru.
Dalam pendidikan gaya bank, murid diasumsikan seperti bejana yang kosong, dan siap dituangi berbagai ‘informasi yang dianggap perlu’ untuk kebaikan masa depannya. Apa yang disebut sebagai ‘informasi yang dianggap perlu’ di sini tentu merujuk pada kriteria-kriteria yang ditetapkan oleh guru.
Maka, murid mendapatkan pengetahun bukan dari persinggungan langsung dengan dunia, konsekuensinya tidak ada kesadaran akan dunia di benak sang murid. Freire mencela, “Peran pendidik dalam pendidikan semacam itu adalah mengatur bagaimana ‘dunia masuk ke dalam diri’ sang murid.”
Artinya, bukan murid yang secara sadar menghendaki pengetahuan tentang dunia masuk ke dalam dirinya. Problem epistemologis ini menjadikan murid menjadi pribadi pasif sekaligus tidak memiliki daya kreatifitas. Apa lagi nalar kritis.
Pendidikan Sebagai Ideological State Apparatuses
Realitas faktual dalam dunia pendidikan kita tidak dimungkiri menjadi gambaran paling jelas dari praktik pendidikan gaya bank. Dari jenjang paling rendah hingga tingkat perguruan tinggi, pendidikan gaya bank yang dikritik oleh Paulo Freire ini menjadi model pendidikan favorit.
Guru bercerita, murid patuh mendengarkan. Dosen menerangkan sebuah pengetahuan, mahasiswa khusyuk mendengarkan. Lebih jauh, guru dan dosen akan senang jika murid atau mahasiswa dapat menjelaskan kembali dengan sempurna apa yang telah diterangkan sebelumnya. Mereka menghafal, tidak dituntut untuk memahami. Pertanyaan tentang apa, siapa, berapa, dan bagaimana, lebih diutamakan dari pada pertanyaan ‘mengapa’.
Pada masa Orde Baru (Orba), yang menjadi penanda kediktatoran Soeharto, pertanyaan ‘mengapa’ dianggap lebih berbahaya dari pertanyaan apa, siapa, berapa dan bagaimana.
Pertanyaan: “Bagaimana presiden Indonesia dipilih?” tidak lebih berbahaya dari pertanyaan: “Mengapa seseorang boleh dipilih berkali-kali menjadi presiden?” Dua pertanyaan tersebut di era rezim Soeharto memiliki dampak yang berbeda bagi sang penanya. Hal ini menjadi penyebab mengapa kekuasaan yang cenderung korup tersebut bisa bertahan selama 32 tahun. Sedikit yang berani mempertaruhkan segalanya (termasuk nyawa) hanya untuk bertanya: ‘mengapa?’
Ideologi penindasan mengambil wujudnya yang paling nyata pada era Soeharto di Indonesia. Ketika itu tidak ada ruang untuk kritisisme: selalu mempertanyakan segala hal-ihwal sesuatu. Penguasa yang melayani ideologi penindasan mempunyai kepentingan agar individu yang tumbuh melalui proses pengajaran di lembaga pendidikan menjadi objek yang patuh, tertib, dan mati nalar kritisnya.
Pendidikan menjadi alat untuk berkuasa. Terlebih jika itu merupakan pendidikan gaya bank.
Cacat epistemologis yang ada pada pendidikan gaya bank menjadikan seorang murid menjadi individu yang pasif, minim kreativitas, dan tak punya nalar kritis. Apa yang ada di dalam benak individu semacam itu, termasuk stock of knowledge yang dimilikinya, merupakan hasil pemaknaan guru terhadap dunia, dan bukan miliknya sendiri. Kreativitas dan nalar kritis hanya ada di dalam benak individu yang aktif melakukan persinggungan langsung dengan dunia, dan aktif memberi makna pada realitas yang ada di sekitarnya. Membiarkan seorang anak untuk sesekali terjatuh agar memahami apa itu rasa sakit, lebih efektif dari pada menjelaskan secara bertele-tele apa itu rasa sakit kepadanya, misalnya.
Terkait hubungan antara pendidikan dan kekuasaan, Louis Althusser dalam bukunya Essays On Ideology mengklasifikasikan pendidikan sebagai Ideological State Apparatuses/ ISA (Aparatus Negara Ideologi). ISA merupakan instrumen negara yang berfungsi untuk mengendalikan wilayah kesadaran masyarakat (dalam teori Marxisme wilayah ini masuk pada Suprastruktur).
Pendidikan, seperti halnya ISA yang lain: Kebudayaan, Agama, Hukum, Keluarga, dan Komunikasi, tidak bersifat memaksa atau represif, akan tetapi menghegemoni. Ia bermain di wilayah kesadaran. Konsekuensinya, segala sesuatu yang menjadi agenda negara, termasuk kemungkinan adanya ideologi penindasan, diterima sebagai sesuatu yang lumrah, apa adanya, dan diterima tanpa dipertanyakan lagi.
Penindasan yang terjadi seolah telah disepakati oleh semua pihak, baik yang tertindas maupun yang menindas, sebagai konsesus yang adil. Dengan demikian, bisa dibayangkan betapa vitalnya ranah pendidikan dalam konstelasi kekuasaan.
Pendidikan Hadap-Masalah (problem posing)
Untuk menggantikan pendidikan gaya bank yang dianggap hanya melayani ideologi penindasan, Freire menawarkan alternatif lain, yakni pendidikan ‘hadap-masalah’ (problem-posing). Pendidikan hadap-masalah yang ditawarkan Freire menekankan pada aspek persinggungan langsung murid dengan realits faktual.
Jika pendidikan gaya bank menekankan peran sentral guru dalam ‘memasukkan dunia’ ke dalam benak murid, sebaliknya pendidikan hadap-masalah menuntut murid agar berhadapan langsung dengan dunia dengan segala kemungkinannya, sekaligus aktif melakukan pemaknaannya sendiri atas dunia.
Dengan demikian, besar kemungkinan muncul kesadaran atas situasi yang sebenarnya sedang dialami melalui tindakan reflektif dan evaluatif: tertindas atau menindas, maju atau terbelakang, bodoh atau cakap, dan segala kondisi yang mungkin saja terjadi. Dalam konteks inilah kritisisme lahir.
Selanjutnya, ketika murid sudah menginsafi situasi dirinya, mereka sendiri yang harusnya menentukan hendak mempelajari apa, mencari wawasan tentang apa, meningkatkan kemampuan diri dalam hal apa, dan seterusnya, sesuai dengan tantangan dan masalah yang ada di dalam kehidupannya, serta target-target yang hendak dicapai.
Peran guru hanya sebatas fasilitator. Freire juga menegaskan bahwa dalam pendidikan hadap-masalah terjadi hubungan resiprokal (kesalingan) antara guru dan murid.
Guru berperan sebagai ‘guru sekaligus murid’, di sisi yang lain, murid juga berperan sebagai ‘murid sekaligus guru’. Keduanya menjadi aktor utama di dalam proses pendidikan. Tidak ada yang benar-benar bodah, dan tidak ada yang benar-benar tahu segalanya.
Program Kampus Mengajar (yang juga menjadi bagian dari program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka) dapat dijadikan gambaran bagaimana mahasiswa (sebagai murid) dihadapkan langsung dengan realitas faktual ketika mengajar di sekolah-sekolah yang ditunjuk.
Mahasiswa dapat langsung merasakan masalah-masalah yang ada di dunia pendidikan, salah satunya: tantangan ketika mengajar di sekolah dengan fasilitas yang kurang menunjang, serta bertemu dengan berbagai karakter yang ada di lingkungan sekolah. Dengan bersinggungan langsung dengan fakta lapangan, dan tidak sebatas teori di dalam kelas, mahasiswa dilatih untuk tidak gagap ketika benar-benar terjun ke masyarakat kelak.
Pembebasan Dalam Pendidikan, Sebuah Kritik Ideologi
Keberanian dan kemampuan menilai situasi diri dan lingkungan yang dihasilkan melalui pendidikan hadap-masalah menjadi penanda adanya kritisisme. Kritisisme penting untuk membongkar ideologi penindasan yang mungkin bersembunyi di balik realitas sehari-hari yang tampak normal.
Pembagian tugas seperti; bapak berkerja sedangkan ibu tinggal di rumah mengurus anak-anak, misalnya. Pandangan bias gender tersebut dapat digugat oleh murid perempuan yang telah tumbuh kesadaran kritisnya, bahwa praktik yang mensubordinasikan perempuan sekadar di wilayah domestik dan satu level di bawah laki-laki merupakan konstruksi sosial.
Konstruksi sosial tersebut dilegitimasi oleh norma-norma yang telah lama dipercaya tanpa dipertanyakan lagi: budaya patriarki a la jawa, atau nilai-nilai agama tertentu. Apa yang sesungguhnya bersifat konstruksi sosial yang subjektif dan sarat kepentingan, menjadi sesuatu yang taken for granted (sudah semestinya) dan tabu untuk dipertanyakan, apa lagi digugat.
Pada aras ini, penindasan menunjukkan sifatnya yang paling kejam: situasi penindasan seolah disepakati oleh kedua belah pihak, baik si penindas maupun si tertindas.
F. Budi Hardiman dalam bukunya Kritik Ideologi menulis, “Melalui praktik kritik ideologi diharapkan muncul manusia yang sadar akan penindasan sosial atas dirinya dan mau bergerak membebaskan diri.” Kritik ideologi merupakan sebuah tindakan mempertanyakan kembali situasi atau realitas yang telanjur mapan dan tak tersentuh, padahal di baliknya terdapat relasi kuasa yang tidak seimbang.
Segala hal (pemerintahan, sistem kepercayaan, sistem norma dan nilai, praktik keseharian, dan lain-lain) yang anti kritik dan tabu untuk dipertanyakan, sekaligus dipercaya secara membabi buta, berpotensi ‘membeku’ menjadi mitos atau ideologi yang menghalalkan darah pihak yang mencoba untuk mempertanyakannya.
Ajaran Karl Marx: Marxisme, misalnya. Marxisme pada mulanya merupakan ideologi pembebasan, karena dasar ajaran ini adalah anti penindasan dalam segala wujudnya. Banyak negara-negara Asia-Afrika pada awal abad ke-20 yang menjadikan paham Marxisme sebagai pedoman perjuangan dalam rangka memerdekakan diri dari kolonialisme. Namun demikian, ketika Marxisme digunakan oleh Lenin sebagai alat pembenaran kediktatorannya di Rusia, ia tidak lagi menajadi ideologi pembebasan. Semua pihak yang mencoba mengkritisi Marxisme-Leninisme (menjadi dasar Komunisme) dibantai habis oleh Lenin. Jutaan orang Rusia bahkan kehilangan nyawanya. Marxisme berubah menjadi ideologi penindasan.
Oleh sebab itu, pendidikan yang mampu melahirkan nalar kritis merupakan sebuah kebutuhan yang mendesak. Nalar kritis yang dilahirkan melalui proses pendidikan digunakan untuk membebaskan diri dari situasi yang tidak menguntungkan, sehingga kelompok-kelompok yang selama ini termarjinalkan bergerak untuk mengubah kondisinya menjadi lebih baik.
Pertama, mereka akan mengevaluasi kondisi dan situasi diri dan lingkungannya, ketika sadar ternyata dalam situasi tertindas, selanjutnya mereka akan melakukan perlawanan atau perubahan. Artinya, pendidikan yang membebaskan merupakan suatu praktik kritik ideologi.
Pada Akhirnya
Pendidikan hadap-masalah yang ditawarkan oleh Paulo Freire menjadi relevan pada masa kini. Kebebasan berpikir, kesadaran akan proses pendidikan, dan kritisisme yang dimiliki oleh murid menjadi sesuatu yang sangat berharga untuk bekal mengarungi realitas kehidupan yang keras.
Namun, semua itu dapat terlaksana jika terdapat, meminjam istilah Jurgen Habermas[3], ‘komunikasi bebas penguasaan’ yang memungkinkan terjadinya hubungan resiprokal (kesalingan) guru-murid, seperti yang telah diulas sebelumnya.
Buku Bacaan:
Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, LPES.
Louis Althusser, Tentang Ideologi, Jalasutra.
F Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Kanisius.
Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme, Gramedia Pustaka Utama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H