Mohon tunggu...
Rangga Agnibaya
Rangga Agnibaya Mohon Tunggu... Lainnya - Tukang Bagi Ilmu

Membaca, menulis, menonton film, dan sepak bola: Laki-laki.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Quo Vadis, Kaum Intelektual: Turunlah dari Menara Gading!

22 Agustus 2022   21:57 Diperbarui: 22 Agustus 2022   22:06 1115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam puisinya yang berjudul "Sajak Sebatang Lisong", WS Rendra menulis, "Apa artinya berpikir, jika terpisah dari masalah kehidupan.". Siapakah yang sedang disinggung oleh Rendra dalam pusinya tersebut: setiap orang yang berpikir atau kaum intelektual.

***

Siapakah sebenarnya kaum intelektual. Abdurrahman Wahid (Gus Dur),  berseloroh dalam artikelnya yang berjudul "Kaum Intelektual Berganti Kelamin?", bahwa gambaran umum seorang intelektual adalah individu unik, bahkan aneh. Gus Dur menulis, ada seorang ilmuwan yang tengah mengetuk-ketukkan pipa rokoknya ke meja. Mendengar suara ketukkan tersebut, si ilmuwan tertegun sekejap, lantas menoleh ke arah pintu sembari berujar, "Silahkan masuk.". Absurd sekaligus aneh. Lelucon itu mungkin hanya gambaran lama tentang intelektual-intelektual nyentrik yang sering kita baca dan lihat, seperti Einstein yang tak pernah rapi rambutnya, Phytagoras yang menciptakan agamanya sendiri, dan John Nash yang sering berhalusinasi karena mengidap Schizophrenia. Akan tetapi, seorang intelektual setidaknya merupakan individu yang memiliki beberapa kemampuan khas, seperti; berwawasan, berpikir menggunakan rasio, dan memiliki daya kritis.

Franz Magnis-Suseno, seorang ahli pemikiran Marxisme, berpendapat bahwa seorang intelektual mempunyai kemampuan untuk menerjemahkan kondisi-kondisi sosial-kultural objektif yang ada di tengah masyarakat ke dalam dimensi cita-cita dan pemikiran. Artinya, apa yang menjadi keresahan, masalah, dan bahkan mungkin keinginan atau harapan dari masyarakat diabstrasikan oleh seorang intelektual ke dalam bentuk konsep-konsep yang siap dipraksiskan demi kemajuan masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, kamampuan-kemampuan yang melekat pada diri kaum intelektual harusnya membuat mereka menempati posisi istimewa di dalam struktur sosial kita. 

Plato dan Kaum Intelektual

Plato pernah menggambarkan sebuah tatanan negara ideal di dalam bukunya Republic. Negara ideal yang dimaksud oleh Plato mensyaratkan sebuah kondisi di mana tampuk kepemimpinan harus dipegang oleh seseorang yang memiliki wawasan luas serta kemampuan berpikir dengan rasionya. Plato menganalogikan tiga bagian tubuh manusia sebagai susunan di dalam negara: kepala, dada, dan, perut. Pemimpin negara disejajarkan dengan kepala dalam tubuh manusia, yang menekankan pada kemampuan akal, serta bersifat bijaksana. Hanya seorang intelektual yang paling mendekati dengan syarat yang diajukan oleh Plato tersebut.

Bahkan, Plato dengan jelas menunjuk seorang filsuf yang harusnya menjadi seorang pemimpin. Seorang filsuf diasumsikan memiliki wawasan tentang kehidupan yang luas, rasional, sekaligus penuh dengan kebijaksanaan. Plato berharap para filsuf pemimpin ini dengan kemampuan yang dimilikinya dapat menyejahterakan masyarakat.

Tanggung Jawab Kaum Intelektual

Antonio Gramsci, seorang filsuf sekaligus aktivis berhaluan Marxis Italia, menempatkan kaum intelektual pada posisi sentral di dalam analisisnya tentang perjuangan merebut hegemoni yang dilakukan oleh kelas buruh. Kaum intelektual dipercaya Gramsci mampu bersama-sama kaum buruh untuk mematahkan hegemoni kelas borjuasi.

Berangkat dari pandangannya bahwa perubahan sosial yang dicita-citakan oleh penganut sosialisme tidak akan terwujud jika hanya berpijak pada kredo 'keniscayaan runtuhnya kapitalisme' yang telah diramalkan Karl Marx secara ilmiah, Gramsci sejalan dengan Lenin, menganggap bahwa perubahan sosial hanya dapat terjadi jika dimaui atau dikehendaki. Artinya, otomatisme runtuhnya kapitalisme adalah utopis semata, dan harus diganti oleh kehendak atau kesadaran revolusioner dari kelas buruh.

Di sinilah peran sentral kaum intelektual, yakni menumbuhkan kesadaran revolusioner yang mengarah pada perubahan sosial yang fundamental. Menumbuhkan kesadaran revolusioner salah satunya dengan cara membuat mereka sadar akan ketertindasannya. Jika sudah sadar, maka mereka tentu akan berusaha mengubah kondisi tersebut: kaum buruh lepas dari ketertindasannya.

Jika dikontekskan pada kondisi masyarakat kita hari ini, maka kaum intelektual memiliki tugas yang sangat berat. Di tengah masyarakat yang penuh dengan problem mendasar yang menjadikan mereka berada dalam situasi tertindas: bodoh karena akses pendidikan yang tidak merata; hidup miskin karena sistem ekonomi yang hanya menguntungkan sebagian orang; dan hanya jadi objek pelengkap dalam sistem demokrasi yang sebatas prosedural, kaum intelektual dituntut menjalankan tugasnya untuk setidaknya menyadarkan masyarakat akan ketertindasan mereka. 

Kaum intelektual bisa saja memilih untuk bersikap tak acuh seolah tidak terjadi apa pun di sekitarnya. Faktanya, memang hal ini yang jamak terjadi. Kaum intelektual berada di menara gading, jauh dari masalah lingkungannya. Seperti kata Rendra dalam puisinya, berpikir tapi terpisah dari masalah kehidupan. Lantas, apa artinya.

Sebagai contoh aktual, mari kita tengok keberadaan lembaga-lembaga pendidikan tinggi yang ada di sekitar kita. Sudah berapa banyak penelitian-penelitian, baik yang dilakukan mahasiswa pada setiap strata maupun dosen, memberikan tawaran kebijakan atau jalan keluar bagi permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat sekitarnya. Dari aspek ontologi dan epistemologi mungkin penelitian tersebut sempurna, tapi cacat pada aspek aksiologi: kebermanfaatan. Banyak dari penelitian-penelitian tersebut akhirnya hanya berjajar rapi di rak-rak perpustakaan untuk pada waktunya nanti berdebu.

Intelektual tradisional vs Intelektual organik

Gramsci melalui salah satu tulisannya yang terkumpul dalam buku Prison Notebooks berpandangan bahwa setiap kelas sosial melahirkan lapisan kaum intelektualnya sendiri. Kelas sosial bawah, menengah, maupun atas memiliki kaum intelektualnya sendiri. Hanya karena kekhasan kegiatan intelektualnya saja, mereka seolah terisolasi dan seperti membentuk kelas sosial sendiri. Seorang akademisi yang lahir dari lingkungan kelas bawah, misalnya, karena aktivitasnya (berkutat dengan buku, meneliti, berdialetika, dan lain sebagainya) yang cenderung berbeda dengan orang-orang di sekitarnya, akhirnya terlihat berbeda kelas sosial dengan rekannya sesama kelas bawah. Terlebih lagi jika akademisi tersebut tidak pernah terlibat dalam setiap praksis kelas sosialnya. Intelektual semacam ini tidak memiliki keberpihakan kepada kelas sosialnya. Gramsci menyebut mereka Intelektual tradisional: kaum intelektual yang berada di menara gading yang seolah jauh dari masalah di sekitarnya.

Berbeda dengan kaum intelektual tradisional yang cenderung terisolasi dari praksis masyarakat sekitarnya, terdapat golongan kaum intelektual organik yang meleburkan diri dalam aktivitas lingkungannya. Intelektual organik memiliki kesadaran bahwa mereka terkait dan terikat dengan masyarakat tertentu. Franz Magnis-Suseno dalam bukunya Dalam Bayangan Lenin: Enam Pemikir Marxisme dari Lenin Sampai Tan Malaka, mengulas dengan jelas tentang kaum intelektual organik khas pemikiran Gramsci ini.

Pengejawantahan intelektual organik a la gramsci dalam realitas hari ini dapat dilihat pada sosok intelektual yang terus menyuarakan penegakkan keadilan di tengah bobroknya sistem hukum, misalnya. Ada juga aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang terus memperjuangkan hak-hak golongan yang tertindas: kaum miskin nan papa, minoritas dalam konteks apa pun, dan kelompok-kelompok marjinal lainnya. Bahkan, anggota dewan yang terhormat pun dapat dikategorikan sebagai intelektual organik jika sepak terjangnya selalu dalam rangka mendorong perbaikan kualitas hidup masyarakat.

Pilihan Hari Ini Untuk Kaum Intelektual

Dalam konteks hari ini, menjadi seorang intelektual organik terlihat lebih relevan. Menumpuknya masalah di tengah masyarakat, serta semakin merosotnya kualitas hidup mereka di tengah pandemi harusnya membuat inteletualitas seorang intelek terpanggil untuk berperan serta mengatasi semua itu. Intelektual organik berani mengungkapkan kenyataan-kenyataan objektif masyarakat, serta berpihak pada kaum yang marjinal dan terpinggirkan. Mereka, kaum intelektual organik, mampu mengungkapkan secara gamblang apa yang dirasakan oleh rakyat. Gramsci memberi batasan yang jelas; intelektual tradisional mengartikulasikan realitas di sekitarnya dalam bentuk teori dan konsep-konsep yang cenderung melangit, sebaliknya intelektual organik berbicara menggunakan bahasa masyarakat yang mudah dipahami dan melalui media-media yang akrab dengan mereka, seperti praktik sehari-hari, pandangan hidup, atau mungkin melalui sistem kepercayaan mereka.

Nah, Quo Vadis kaum intelektual.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun