Hamparan sawah yang luas-luas itu silih berganti; kuning keemasan, tanda siap panen. Padu-padan dengan hijau pohon pisang yang tak terhitung berapa sudah lewat, dan berapa lagi yang akan kami lewati.Â
"Di sana aku temukan juga pada akhirnya,"
Perasaan ini yang aku cari-cari, rindu namanya. Dia bersembunyi dariku dalam diam, dalam penat pekerjaan, dalam berat cicilan dan dalam pedas caci maki.
Mengendarai ular besi ini, aku pulang. Pak, buk, sebentar lagi, sungguh tak akan lama, kereta kami akan tiba sore nanti. Tunggulah dengan tenang. Aku datang dengan menantumu. Cucu kalian juga turut serta.
Kata orang anak adalah titipan, aku tidak setuju. Bagi kami anak adalah anugerah dari tuhan. Sebab kami yang memintanya, dan tuhan telah sependapat dengan kami, maka dari itu cucu kalian lahir.
Cucu kalian sudah cukup besar sekarang ini, setidak-tidaknya sudah mampu mengetahui keadaan dirinya sendiri. Ia sudah tahu mencari di mana letak air susunya, pelepas dahaganya dan sumber kedamaianya.Â
Sudah tahu cara menyenandungkan tangis yang beraneka. Bagaimana menangis kantuk, menangis lelah, manja ingin perhatian, rasa tidak nyaman, atau sekedar ingin digendong dan haus akan asi itu sendiri.
Sungguh dari cucumu kami belajar bercermin. Pantulanya yang murni dan tidak dibuat-buat itu, boleh jadi yang membuat kami gamblang membacanya. Perasaannya tajam dan terus terang, tidak butuh tawar menawar. Sungguh kejujuran yang sejati, dan sejatinya kemurnian.
Sebab kemurnian perasaannya itu, kami sesekali tertolong. Dia kadang terlihat gusar dan ingin melompat pergi saat orang menggendongnya atau sekedar ingin menggendongnya.
Belakangan kami ketahui bahwa ternyata cucumu tahu bagaimana sejatinya pendalaman seseorang.Â