Mohon tunggu...
Rangga Aris Pratama
Rangga Aris Pratama Mohon Tunggu... Buruh - ex nihilo nihil fit

Membaca dan menulis memiliki kesatuan hak yang sama, seperti hajat yang harus ditunaikan manusia setelah makan dengan pergi ke toilet setiap pagi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Pelarian

23 Maret 2022   15:02 Diperbarui: 31 Maret 2022   12:48 741
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya berumur 19 saat memutuskan untuk pergi dari rumah. Saya sendiri ragu dengan tujuan saya pergi, hanya saja, rasanya ingin melayap jauh-jauh meninggalkan jati diri saya ke tempat yang benar-benar baru.

Saya ingin menumpang pesawat ulang-alik dan pergi ke bulan atau planet mana saja yang tidak ada manusianya, apabila itu dapat saya lakukan. Sayangnya tidak.

Saya harus puas dengan tiket kereta yang saya pesan ngawur saja, selama itu dapat menjauhkan saya dari rumah. Saya tidak ambil pusing kemana saya akan pergi dan apa yang akan saya lakukan kemudian.

Mungkin saya akan cari kerja, atau mengamen, atau mengemis, entahlah. Kalau perlu saya akan menipu orang untuk dapat makan.

Ya, makan. Karena itu saja yang penting bagi manusia.

Kereta melaju semakin cepat, seperti anak panah yang lepas dari busur-nya, melesat maju tak terhenti-kan. Melaju lurus laksana pedang terhunus membabat angin membabi buta.

Tak boleh ada yang mengganggu laju-nya, atau akan menemui ajal sebelum sempat berkedip mata. Sedangkan saya di dalam, tidak bergoyang kecuali sedikit.

Bangku-bangku tempat duduk semuanya terisi penuh, barangnya juga macam-macam jenisnya. Orang duduk berpasang-pasanggan, tinggal saya sendirian tanpa teman ngobrol, hanya tas kecil isinya buku lama.

Ada yang terlihat senang, dan tak berhenti memandang keluar jendela sambil mengobrol, ada yang dipaksakan tidur, ada yang membaca koran namun terbalik, ada yang menyantap bekal makanan seperti orang kesurupan, ada yang duduk tapi sebenarnya ingin telentang, ada yang dapat tempat duduk tapi mondar-mandir dalam gerbong.

Ada juga yang sibuk sendiri seperti saya.

Saya sedang mengasihi annelis melema istri minke itu, sungguh perempuan rapuh dengan nasib yang begitu malang.


Seorang istri diambil paksa dari haribaan suaminya sendiri oleh kakak tiri yang sebenarnya tidak menghendaki apa-apa selain afirmasi bahwa dirinya memiliki kuasa untuk melakukan apa saja suka-suka.

Bagaimana bisa manusia berbuat demikian kejam terhadap manusia lain. 

Bagaimana seseorang mengaku bahwa dirinya memiliki hak kuasa terhadap orang lain sedangkan manusia pada hakekatnya terlahir bebas ke dunia ini.

Atas ijin siapa manusia dapat menentukan apa-apa saja yang baik dan tidak baik pada manusia lain, lalu memutuskan "itu keliru", "ini keliru", "sesat" sedangkan semuanya saja tidak tahu apa yang telah dilalui-nya atau apa yang menanti-nya di hari depan.


Pertanyaan berlari-lari dalam kepala saya, mengajak saya memikirkan alasan pelarian saya.

Saya tutup buku, lalu saya masukkan ke dalam tas, dan mengeluarkan buku lain sebagai ganti; Seorang perempuan dengan tas besar datang dan berusaha menjangkau bagasi di atas tempat duduk saya.

Rupanya bagasi kereta terlalu tinggi baginya. Sampai-sampai pusarnya mengintip dari balik kaos ketatnya yang tersingkap sebentar.

Saya perhatikan perempuan itu punya kulit bagus, bentuk pusarnya bukan yang bodong.

Badannya terlihat prima dan cukup berisi; belum sampai disebut gemuk, sintal begitu mungkin penamaan yang tepat.

Akhirnya saya jadi merasa rugi menganggurkannya begitu saja. Saya sigap pasang badan, dan dengan sekerjap tas besar itu sudah nangkring pada bagasi kereta. 

Kemudian perempuan itu duduk berhadapan-hadapan dengan saya.

Tentu saja tiket-nya memang merujuk pada kursi di depan saya, dan perempuan itu jelas tidak sedang melakukan itu dengan sengaja, tapi saya merasa bahwa perempuan itu memang menargetkan saya.

Tampak dari perilakunya yang janggal saat saya bantu meletakan tasnya tadi, dia dengan entengan menyenggolkan dadanya ke punggung saya supaya saya merasa bersalah dan mengajaknya ngobrol.

Jika itu terjadi pada penumpang lain tentu mereka akan marah, tapi saya kan tidak.

Saya sebenarnya tidak senang basa-basi atau tanya hal yang tidak penting pada seseorang. Namun berhubung saya terjebak dalam situasi sulit, saya ganti juga setingan saya yang pendiam itu.

Perempuan itu bernama feliscia, namanya terdengar seperti nama ilmiah kucing "felis catus" tapi tentu saja bukan itu yang dimaksudkan oleh orang tua-nya.

Katanya "feliscia" punya arti seseorang yang diberi keberuntungan. Walau belum apa-apa feliscia sudah mengeluh atas nasib sial yang menimpa-nya belakangan ini.

Saya ketahui ternyata feliscia kabur dari suaminya dan hendak pulang kerumah asalnya.

Ia mengaku tidak tahan dengan tingkah suaminya yang tidak pernah pulang, dan menurut pengakuan feliscia suaminya bahkan tidak tahu bahwa istrinya sedang lari darinya.

Saya tidak bertanya mengenai, mengapa suaminya tidak pernah pulang dan mengapa pula ia meninggalkan suaminya itu. Tapi feliscia berkata terus terang ingin menceritakan sebab musabab pelariannya, juga penderitaannya selama ini pada saya.

Menurut penuturan feliscia, suaminya tidak pernah menjadikannya sebagai prioritas, malahan terus bekerja walau uang sudah terkumpul banyak. Sebenarnya suaminya bukan tidak pulang, tapi pulangnya terlalu malam sampai-sampai tidak bergairah melakukan apapun, sekedar ngobrol pun tidak.

Feliscia mengaku kesepian walau tinggal serumah dengan mertuanya dan malah bercerita panjang lebar mengenai perlakuan mertuanya itu padanya yang ia anggap merusak mental. Hal itu diperparah dengan kegagalannya memiliki anak.

Menurut feliscia, suaminya tidak menginginkan anak, mertuanya juga tidak menunjukan gelagat ingin menimang cucu. Bahkan sering ngomel apabila anak tetangga bermain dekat-dekat rumah mereka.

Lain dengannya yang senang dengan anak kecil dan orang-orang yang lebih muda katanya.

Dari penjelasannya barusan, saya menjadi yakin bahwa tuduhan saya diawal itu, benar adanya. Saya juga sering mendapati gerak-gerik aneh dari caranya memandang kearah saya, seolah-olah minta diusap lehernya seperti kucing. 

Akhirnya saya pancing feliscia dengan pertanyaan-pertanyaan yang sedikit mengarah pada dugaan awal saya, dan rupanya disambut dengan cerita yang mengalir begitu saja.

Kadang-kadang ia membisikan cerita itu ke telinga, saya maklum. Sebab akan tabu memperdengarkan keintiman suami istri pada orang asing.

Rupanya sekarang feliscia sudah percaya pada saya sepenuhnya, dan menganggap saya bukan lagi orang asing. " Sampean Pemuda yang manis" katanya memuji.

Saat saya ganti bercerita tentang buku yang sedang saya baca, mengenai fanton drummond yang senang memperlakukan tubuh olenka seperti arkeolog membaca peta.

Mata feliscia berkerlip-kerlip, ada bintang di kedalaman matanya, seolah-olah baru menyadari bahwa manusia dapat melakukan hal-hal seindah itu dalam bercinta.

Menurut feliscia suaminya juga sering menggelar dirinya di sembarang tempat. Pernah juga berkata bahwa felicia memiliki surga, tapi tidak pernah benar-benar menelusuri seperti seorang arkeolog, atau penjelajah mana-pun.

Malah lebih senang srudak-sruduk seperti badak ngamuk, dan itu dulu sebelum akhirnya suaminya lebih senang lembur.

Dari sana saya menarik kesimpulan bahwa, feliscia sebenarnya tidak menderita seperti yang saya bayangkan diawal. Terlalu naif menyandingkan penderitaan feliscia dengan annelis melema.

Mungkin saja penderitaan tidak benar-benar ada, hanya keinginan dan keadaan saja yang sering kurang sesuai.

Kemudian karena dorongan emosi, akhirnya melakukan tindakan yang tidak-tidak dan malah memperparah keadaan, sampai keinginan menjadi semakin jauh dapat terwujud.

Saya jadi ragu untuk meneruskan pelarian saya, tapi berhubung saya tidak punya ongkos untuk kembali, saya putuskan menyertai feliscia sampai akhir perjalanan. Dan rupanya feliscia tidak menganggurkan saya begitu saja.

Mula-mula feliscia meminta ijin untuk duduk di sebelah saya, katanya matahari menyilaukan matanya dan akan terasa perih jika terpapar lama-lama, tapi toh dia masih enak bersandar pada lengan saya saat matahari sudah geser.

Katanya disini terlalu dingin, padahal tidak ada ac yang menyala. Kemudian feliscia mulai meminta saya untuk mendekapnya, katanya ia tidak tahan dingin, tapi saat saya memintanya mengeluarkan selimut dari tasnya, ia berdalih tidak membawa selimut.

Dan saat saya ingin memesan selimut pada petugas, feliscia menolak dan berkata bahwa saya tidak perlu repot.

Akhirnya saya mengalah padanya, dan membiarkan feliscia melakukan suka-suka hatinya pada saya, walau terpaksa. 

Saat feliscia mengigau tentang impianya memiliki suami baru yang suka mendongeng, saya hanya diam.

Hati saya sudah dongkol dengan perlakuannya terhadap saya. Tua begitu kelakuannya seperti anak kecil rewel, seperti kucing lapar yang susah diusir dari kaki saat sedang makan.

Mungkin apabila orang lain sedang ada di posisi saya, akan berbeda pendapatnya. Mungkin akan senang dengan rejeki nomplok ini.
Memang feliscia tidak buruk-buruk amat tampilannya, badannya juga oke, tapi bukan selera saya.

Semakin lama sifat aslinya yang suka mengekang kelihatan juga, dan saya bukan orang yang suka deiperlakukan demikian. Saat saya ingin pergi ke toilet saja tidak diperbolehkan seolah-olah takut ditinggal mati. Bahkan menunjukan mimik wajah seperti ingin menangis saat saya lepaskan lengan saya dari rangkulannya.

Akhirnya saya terpaksa membujuknya, dan berkata bahwa saya hanya pergi ke toilet bukan kemana-mana. Tas saya boleh jadi jaminan. Dan setelah saya berhasil membujuknya akhirnya saya buru-buru pergi ke toilet saat kereta sebentar mampir di sebuah stasiun.

Saya tinggalkan feliscia dengan tas isi buku milik saya, sebagai ganti suami yang suka mendongeng, sedangkan saya sudah niat sejak turun dari kereta untuk tidak naik lagi.

" Memang rejeki nomplok, ternyata feliscia membawa banyak uang" 

Sambil melambai kearah kereta yang melaju pergi itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun