Mohon tunggu...
Rangga Aris Pratama
Rangga Aris Pratama Mohon Tunggu... Buruh - ex nihilo nihil fit

Membaca dan menulis memiliki kesatuan hak yang sama, seperti hajat yang harus ditunaikan manusia setelah makan dengan pergi ke toilet setiap pagi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Pantulan Mudigah

15 Maret 2022   15:00 Diperbarui: 19 Maret 2022   11:47 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.boredpanda.com/blog/wp-content/uploads/2014/07/reflection-photography-27.jpg

Mentari begitu tajam memberondong sinarnya ke dataran aspal yang kasar dan keras sehingga air dalam tanah yang bersetubuh dengannya, menguap menjadi tirai-tirai udara yang pengap lagi apek.

Bersama dengan itu kawan-nya asap dari api pembakaran kendaraan bermotor, menghambur disana-sini, menyatu dengan aroma aspal gosong dan debu-debu ditiup ban menggelinding.

Genangan air berkilau cemerlang, dan daun-daun kering menghiasi sekeliling, juga pohon ketapang yang tersebar berjauhan dan sedikit.

Langit di biarkan sepi tanpa awan, begitu biru dan terang warnanya sampai seolah seluruh warna biru yang ada di permukaan mengendap ke langit.

Mentari putih bersih dan bulat penuh sehingga orang yang memandangnya lama-lama, matanya akan meleleh, terlena dan berpusing.

Angin tidak datang kali ini, setelah puas bermain semalaman bersama hujan.

Bunyi klakson, mesin yang berderam dan padam, bunyi langkah-langkah kaki, ban motor, ban mobil, becak , sepeda yang maju mundur terburu-buru dan peluit tukang parkir yang berpadu dengan suara ajakan mempersilakan.

" Monggo mbak!"

" Silakan mampir!"
" Mau cari apa?!"
" Monggo bu!"
" Non!"
" Dipilih!"

Perempuan itu diam saja, seolah-olah semua orang di sekelilingnya senyap tidak bersuara. Ia berjalan lurus dengan tatapan kosong yang aneh.

Berjingkat ke trotoar, berjalan lurus lagi, memutar, kembali lagi, melompati trotoar dan menyebrangi jalan untuk kemudian berjalan lurus lagi, berjalan memutar dan kembali lagi.

Tidak jelas apa yang ia cari dan apa tujuannya datang kemari dalam kondisi yang demikian itu, Perempuan itu bunting ! dengan benjolan besar di perutnya yang terlihat sebentar lagi akan meledak.

Anehnya tidak ada orang yang menyadari benjolan besar yang bersarang di perut perempuan itu, tidak ada sama sekali orang yang memperhatikannya kecuali saya, hanya saya yang menyaksikan kengerian yang sebentar lagi akan terjadi, hanya saya saksinya. 

Perempuan itu berdiri termenung meremas-remas tangannya sendiri, terlihat seperti hendak mencopoti jari-jemarinya itu tapi urung dilakukan.

Kemudian perempuan itu masuk ke satu toko dan keluar dengan muka sedih dan kesal. Lalu ia berjalan lurus lagi dan berbelok ke satu toko kemudian masuk kesana untuk sebentar keluar lagi, begitu sampai habis lima toko disambangi.

Lama-lama warna dari perempuan itu terlihat pudar, warnanya berubah pucat sampai akhirnya menjadi transparan. Kini hanya saya yang mampu melihatnya.

Orang-orang hanya berjalan melewatinya seolah-olah tidak ada siapa-siapa, betul-betul transparan!, beberapa kali terlihat oleh saya, orang berpapasan dengannya dan berdiri beriringan dengan perempuan itu tapi benar-benar tidak menyadari ada orang disana, seperti perempuan itu hantu atau sejenisnya.

Sementara itu saya hanya memperhatikan.

Dari jauh terlihat mukanya begitu lelah, ada perlombaan keringat yang mengucur dari dahinya yang lebar, saling balap bulir-bulir air itu melalui pipi, hidung dan akhirnya terjun bebas melewati dagu.

Kemudian ia mengusap dahinya dengan saputangan dan duduk bersandar pada pohon ketapang untuk meredakan nafasnya yang tersengal-sengal. Sepertinya ia sedang kehausan tapi tidak punya sesuatu untuk ditukarnya dengan air minum.

Dipandangi genangan air di samping depannya itu dengan tatapan mengiba, kemudian dari genangan air itu keluarlah sesosok makhluk kecil yang cantik dan bening.

" Kamu siapa?" Tanya perempuan itu
" Peri Air"

Perempuan itu mengangguk dan kembali menghela nafas.

" Minumlah saya, jika anda kehausan nona " Kata peri air dengan gaya centil

" Iya nona minumlah dia, saya selalu meminumnya jika saya sedang haus"
Kemudian pohon ketapang di punggunya ikut berbicara.

Perempuan itu tidak terlihat kaget ataupun terkejut melihat permunculan makhluk-makhluk ajaib itu. Ia justru bersyukur dan terlihat lega.

" Kamu genangan air, tentu kamu kotor, saya jijik " Perempuan itu menanggapi
" Tidak nona, saya murni, silahkan saja buktikan"

Perempuan itu diam saja, seperti sedang memikirkan hal-hal yang berat dan tak terpecahkan, lalu kemudian perempuan itu meringis memegangi benjolan di perutnya.

" Setidaknya sedikit saja nona, untuk meredakan dahagamu" Rayu peri air
" Iya nona minumlah dia, saya selalu meminumnya jika saya sedang haus" Pohon ketapang mendukung

Perempuan itu tetap diam dan mengelus perutnya yang semakin membesar dan membesar, seolah-olah sedang berkata pada makhluk di dalamnya untuk tenang.

Tapi rupanya makhluk di dalam perutnya tidak mau diajak rundingan, perut perempuan itu terlihat menonjol disana-sini seakan ada seseorang yang mendorongnya dari dalam dan merentangkan kulit ringkih itu supaya sobek dan membebaskannya dari belenggu. 

Perempuan itu menjerit kesakitan, teriakannya membikin pilu pohon-pohon ketapang, genangan air sampai bergetar sebab saking kencangnya teriakan itu.

" Astaga ! apakah mudigah yang ada di kandung badannya sudah siap menjadi bakal peranakan"

Kata peri air

" Gawat !" sahut pohon-pohon ketapang serempak

" Benar-benar gawat"

Perempuan itu meregang, bajunya hampir robek karena di tarik oleh tanggannya yang menggengam kencang.  Ia ingin berdiri dan berlari-lari tapi benjolan itu menahannya.

Terpaksa ia hanya duduk, bersandar pada pohon ketapang dan sekali-sekali memeluknya. Kemudian perutnya kembali membesar lebih besar dari sebelumnya, perempuan itu terlihat sangat kesakitan dan tangannya mencakar-cakar pohon ketapang di rengkuhannya.

" wah wah wah, dulu saya menjadi saksi janji saidjah pada adinda dan kamerad kliwon pada alamanda sekarang jadi saksi perempuan bunting yang akan melahirkan monster" berkata pohon ketapang

" jelas itu mudigah monster" kata peri air

Perempuan itu jelampah di trotoar, tak mampu lagi menopang beban yang ada di perutnya itu. dirangkulnya pohon ketapang sampai ampun-ampun kesakitan.

Tangannya yang satu lagi mencakar-cakar permukaan pohon ketapang sampai kulitnya mengelupas, sepertinya ingin membagi kesakitan yang sama pada pohon ketapang itu.

Setelah itu terdengar long-longan mirip serigala keluar dari mulut perempuan itu lalu berganti erangan macan kumbang dan apabila benjolan di perutnya sedikit mengempis akan terdengar seperti kucing mengeong.

" wuhu, darah dan lendir "

teriak peri air " ayo,ayo keluarkan lagi"

" aduh sakit, perih sekali" celetuk pohon ketapang

" berhentilah mengeluh, lihatlah perempuan itu jauh lebih kesakitan. Barang kali ia sedang menanggung kesakitan seluruh umat di muka bumi sekarang ini"


Perempuan itu meregang kencang, melonglong seperti serigala sambil merengkuh pohon ketapang dan mencabik-cabiknya. Kemudian muncul suara seperti seorang sedang bersenandung, vocalnya tidak terdengar jelas tapi nadanya begitu indah kedengaran. 

Pohon-pohon ketapang tertidur mendengarnya, peri air hampir membeku sedangkan perempuan itu meong-meong.

" Saya kira itu mudigah nabi, kau akan melahirkan seorang nabi nona " peri air sumringah memberi tahu " ayo lekas mengejan"

Perempuan itu mengerang panjang, dan benjolan di perutnya perlahan turun kearah lutut. Kemudian terdengar sentakan seperti peluru yang berhasil di tembakan.

" Haaakh!" suara perempuan itu tertambat di tenggorokannya, suara lain meneruskan dengan lebih nyaring. Suara tangisan yang paling nyaring yang pernah di dengar oleh telinga.

Pohon - pohon ketapang terbangun kaget. Bahkan manusia-manusia yang sedari tadi sibuk dengan kelakuannya sendiri-sendiri mulai terusik dengan tangisan itu dan mencari-cari sumber dari suara.

Tentu saja mereka kaget bukan kepalang saat menyadari sumber suara tangisan itu datang dari sebuah pantulan genangan air yang letaknya persis di sebelah pohon ketapang.

Mereka segera berkerumun, dan beberapa diantaranya mengajak manusia lain untuk ikut berkerumun menyaksikan kengerian itu. 

" Sungguh itu bentuk yang menjijikan" kata seseorang
" Seburuk-buruknya rupa " kata yang lain
" Kutukan Abad ini" seorang lagi menimpali
" Monster" yang lain serempak berkata

Perempuan itu tetap tidak terlihat, gerombolan manusia-manusia kasar itu tidak pernah menyaksikan keajaiban yang saya saksikan barusan tadi.

Perempuan itu menoleh kearah bayinya dengan lemah. Bayi itu tergolek diatas genangan, sedang di pangku oleh peri air.

" Minumlah saya nona, anda akan mati kehausan"

perempuan itu menoleh malas

" Minumlah saya nona, atau manusia-manusia itu tetap mengolok-olok bayimu"

Akhirnya perempuan itu meminum genangan air hujan itu sampai habis supaya tidak menciptakan pantulan dari bayinya

Kerumunan manusia itu-pun pergi teratur, ngeri mereka menyaksikan sebuah genangan air lenyap dengan ajaib.

Begitu pula saya akhirnya pergi dengan perasaan lega setelah menerima telfon bahwa anak saya telah lahir dengan selamat, tanpa cacat, dan ibunya melahirkan dengan gagah berani.

Saya hendak menelfon di tempat yang lebih sepi supaya suara adzan saya sampai ditelinga anak saya.

Saya berjalan kearah perempuan yang sedang menggendong bayinya itu pelan-pelan, dan menoleh kearahnya untuk memastikan. Perempuan itu tersenyum kearah saya dan saya membalas senyumnya cuma-cuma.

"bayi yang cantik"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun