Mohon tunggu...
Rangga Aris Pratama
Rangga Aris Pratama Mohon Tunggu... Buruh - ex nihilo nihil fit

Membaca dan menulis memiliki kesatuan hak yang sama, seperti hajat yang harus ditunaikan manusia setelah makan dengan pergi ke toilet setiap pagi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Gembala Hujan

9 Maret 2022   20:09 Diperbarui: 13 Maret 2022   23:14 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi hujan dan malam. (sumber: pixabay.com/holdosi)

Gelas-gelas plastik terapung berserakan, bagai perahu bagi semut yang bertualang mencari remah-remah makanan; begitu tenang semut bertengger di permukaan gelas plastik sampai nasib mujur membawa angin mendorong gelas-gelas plastik berlabuh ke kaki meja prasmanan atau taplak yang terendam air. 

Piring-piring kaca dan gelas kaca yang karam di dasar banjir menyisakan nasi selai bumbu kacang lengkap dengan biting sate terapung di permukaan. Kursi-kursi plastik semua njengkang, hanya satu dua yang masih berpijak di atas kakinya. 

Atap terop menggelontorkan air yang jatuh serempak seperti air terjun membentuk tirai-tirai air yang dingin nan basah. 

Panci bakso dengan kuahnya yang tercampur air hujan hingga membuatnya meluap dan membiarkan bakso-bakso bulat itu kampul-kampul tak tentu arah berpadu dengan luapan kuah rawon dan soto yang menjadikan air banjir itu bernuansa daging. 

Di atas meja pramanan, koloni semut sedang adu arak-arakan; berpesta mereka diatas adonan koloke, capcay, dan nasi goreng.

Sementara itu sepasang pengantin membatu diatas kuade, saling berpelukan berbagi panas tubuh dengan riasan yang telah meleleh berantakan dan wajah pucat keriput kedinginan. 

Lelah yang mereka sandang telah dikesampingkan, pakaian kuyup tak mereka gubris, mereka tetap berpelukan satu sama lain sejak hujan datang mengusir tamu undangan untuk kocar kacir sampai semua kekacauan itu tinggal menyisakan mereka berdua di sana. 

Seandainya saja hujan turut lelah, atau memainkan iramanya sedikit lebih pelan niscaya mereka berdua ambruk dan kalah dalam perlombaan itu. 

Tetapi hujan tidak menunjukan gelagat ingin mengalah jadi mereka harus bertahan dalam dingin dan basah itu sampai ayah mereka datang dan memberi sinyal untuk berhenti.

 ***

Ka Ji, pawang hujan yang kesohor mampu menggembala awan sampai ke tepian pulau jawa. Bagi Ka Ji awan-awan hujan dianggap seperti domba yang mudah di giring. 

Ka Ji sering diandalkan untuk mengawal acara-acara besar seperti pidato politikus, konser dangdut, balapan motor sampai pada kegiatan rutin musiman yaitu acara nikahan. 

Praktik Sarang Udan oleh Ka Ji biasanya lengkap dengan cabai dan bawang merah yang di tusuk dengan sapu lidi dan kemenyan bakar. 

Ketika beraksi, Ka Ji akan komat-kamit lalu menandak-nandak sambil tangannya menegadah seperti sedang mengamini doa dan kemudian meraih sapu lidi itu untuk di pukul-pukulkan ke arah langit seolah sedang menabok pantat awan.

Jasa pawang hujan biasanya disewa oleh empunya hajat untuk memindahkan hujan yang turun di suatu wilayah yang ada hajatnya ke wilayah netral dimana tidak terkandung hajat. Dan Ka Ji adalah orang paling diincar untuk melakukan pekerjaan tersebut. 

Walau terkenal sebagai dukun sakti penggembala hujan, Ka Ji adalah sosok yang sederhana dalam kesehariannya, Ka Ji tidak pernah berdandan seperti seorang dukun ataupun orang pinter. 

Sederhana saja seperti semua tetangganya berpakaian; dengan busana kaus berkerah dan sarung yang digulung sejadinya, alasnya sandal japit dan mahkotanya peci hitam yang dipakai agak miring ke belakang. 

Ka ji dipanggil kaji sesuai namanya, yang oleh beberapa orang disalah artikan sebagai haji. Kebiasaan ka ji memang lebih mengarahkan orang untuk menganggap Ka ji seorang haji sungguhan karena memang Ka ji rutin pergi ke langgar dan memang selalu duduk-duduk di teras langgar jauh sebelum panggilan sholat di kumandangkan.

Dari sana Ka Ji akan menyapa semua orang dan mempersilahkan siapa saja untuk menunaikan sholat, walau selama ini tidak pernah ada yang melihatnya berdiri disisi makmum alih-alih menjadi imam. 

Kadang-kadang ada saja yang penasaran dengan Ka Ji selama sembahyang berlangsung, mereka akan mencuri-curi kesempatan menengok ke arah Ka Ji biasa duduk, tapi Ka Ji tidak akan ada di sana.

Hanya ada se-ekor kucing hitam sedang duduk melingkar dan terlihat menatap balik seperti hendak menerkam, dan setelah salam kedua berakhir. Ka Ji akan terlihat seperti semula, duduk dan melinting tembakau di teras langgar.

Orang-orang sering membicarakan Ka Ji dari belakang tapi akan bersikap ramah ketika berpapasan. 

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Ka Ji memiliki Jin peliharaan, dan meskipun orang-orang merasa tidak nyaman berdekatan dengannya, mereka tetap mengandalkan Ka Ji menggembalakan hujan untuk keperluan mereka, dan Ka ji akan sukarela menerima upah dari mereka jika dirasa pantas.

Walau semua orang menjauhi Ka Ji nyatanya ada seorang pemuda yang kedapatan bercengkrama dengannya pada suatu siang di teras langgar. 

Memang Ka ji memiliki satu-satunya anak perempuan yang manis dan pemuda-pemuda disana diam-diam menaruh hati, tapi karena mereka takut kepada Ka Ji mereka urung mendekat, lain dengan pemuda yang kini ada di hadapan Ka Ji. 

Pemuda itu dengan sadar dan tanpa paksaan memohon kepada ka ji untuk diajari menjadi dukun penggembala hujan, walaupun ka ji tahu belaka niat pemuda itu sebenarnya hanya ingin melirik anak gadisnya. 

Biar begitu Ka Ji memuji nyali dari pemuda itu, pemuda itu juga cukup tampan walau dari matanya terlihat bahwa pemuda itu tidak begitu pintar, dan karena akan membicarakan sesuatu yang rahasia, maka ka ji mengajak pemuda itu untuk datang ke rumah dan bercerita lebih jauh mengenai Sarang Udan.

Sampai di rumah Ka ji mereka masuk ke sebuah ruangan yang agak gelap dan tertutup, ruangan itu terasa pengap dengan bau kemenyan bercampur tembakau yang masih mengudara seperti baru saja dibakar, namun demi cintanya pada anak gadis Ka ji, pemuda itu rela berada disana untuk menghisap bau kemenyan yang menyengat itu.

"Sebelum saya memberi tahu mengenai bagaimana caranya saya dapat memindahkan hujan, saya akan bercerita mengenai Demit, ya demit peliharaan saya." kata Ka Ji, memulai sambil mengamati apakah anak muda di hadapannya sedang ketakutan atau tidak. 

Setelah mengetahui pemuda itu tetap mantap mendengarkan walau sedikit tergetar takut, ka ji melanjutkan.

"Sebenarnya bukan saya yang mampu memindahkan awan, tapi demit. Demitri Khodcenkkoplaykh namanya, dia adalah bangsa jin yang berasal dari eropa utara, Jin bule. Jin bule lebih sakti daripada jin lokal maka dari itu saya tak tertandingi disini, sebab hanya saya yang punya jin bule. 

Ceritanya: dulu saat pecah perang uni soviet keluarga besar Khodcheckkoplaykh pindah ke mari naik pesawat dari moscow, lalu satu persatu keluarganya mati karena tidak dapat makanan semenjak negeri ini semakin susah, kemudian Demitri bertemu saya dan saya rawat sampai sekarang " Ka Ji menambahkan dengan sedikit kelakar. 

Sambil menghisap tembakau lintingan Ka Ji bertanya

"Apa yang kamu tahu mengenai bangsa jin anak muda?"

"Jin itu kekuatan jahat yang suka dipakai dukun untuk membunuh manusia"

Ka ji tertawa mendengar jawaban konyol dari pemuda di hadapanya itu.

"Biar aku beri tahu anak muda. Bangsa jin adalah makhluk yang tidak memiliki materi fisik, mana bisa mereka membunuh manusia. mereka itu
layaknya kita manusia tapi tidak punya raga, mereka juga makan minum dan butuh tempat tinggal yang sama seperti manusia" 

"Bagaimana jin bisa makan dan minum kalo begitu?, setahu saya mereka menghisap darah," potong pemuda itu.

"Yang menghisap darah itu lintah, bodoh!" saut Ka Ji.

"Sebelum saya selesai omong jangan dulu di potong" ka ji memperingatkan

" Bangsa jin itu makan dari memangsa roh makanan dan minuman manusia, apabila manusia tidak menghargai makanan dan minuman yang mereka santap maka roh dari makanan itu akan diambil oleh jin. Dan begitulah mereka dapat makan. Begitu juga dengan pakaian, rumah dan benda-benda milik manusia lainnya. Biar saya beri contoh, jika saya ingin memberikan demitri telfon gengam, saya cukup mengeluh tentang jeleknya telfon gengam saya dan mencemoohkanya begitu saja, maka demitri akan mengambil roh telfon genggam itu lalu menjadikan telfon genggam itu miliknya. Tapi untuk apa pula saya memberikan dimitri telfon genggam wong dia jin jomblo, siapa pula yang akan dia telfon" 

Mendadak patung kayu di belakang pemuda itu bergerak-gerak dan membuatnya takut.

"Lalu bagaimana cara Ka Ji bisa memerintah jin itu ?"

"Lho ya gampang!" Jawab kaji

" Tinggal di beri sandang, pangan dan papan, beres. Jin itu sama juga seperti manusia, manusia memperbudak manusia lain dengan membiarkan mereka berhutang padanya, memberikan bantuan dan kemudian menagih bantuan terus menerus, dan hutang yang abadi adalah hutang budi, kan saya telah merawat demitri sedari dulu tentu dia harus nurut pada saya"

" Baiklah kalo begitu, saya sudah mengerti mengenai jin sekarang beritahu saya cara memindahkan hujan"

" Jangan terburu-buru anak muda, kembalilah kemari besok dan kita akan omong-omong lagi"
 
Tapi setelah percakapan itu selesai mereka selalu gagal bertemu kembali, pasti ada saja halangannya. Kadang Ka Ji sudah pergi mengawal acara di suatu tempat atau jika kaji sedang kosong job, pemuda itu tidak nampak batang hidungnya. 

Ka ji akan dapat kabar dari anak gadisnya bahwa pemuda itu sedang sibuk dan meminta maaf atas keterbatasannya itu. dari sana ka ji jadi tahu bahwa pemuda itu kini mengantongi nomor telfon anak gadisnya. Lama- lama anak gadisnya menunjukan roman ingin menikah dan setelah di telusuri calon mempelai pria nya adalah pemuda itu. 

Pemuda itu memang tidak berhasil mencuri ilmu pawang hujan ka ji tapi telah sukses mencuri hati anak gadisnya. Awalnya Ka Ji menolak permintaan anak gadisnya, tapi setelah anak gadisnya mengancam ingin bunuh diri ka ji luluh juga. 

Dalam hitungan hari acara megah itu di gelar dan dalam undangan diberitahukan bahwa putri semata wayang ka ji penggembala hujan akan menikah pada tanggal seperti yang telah ditentukan dalam undangan itu.

***

Ka Ji sedang kalap melabrak orang-orang yang dicurigainya telah menggembalakan hujan dan mengirimkan semua awan itu ke pernikahan putrinya.

Kenyataanya seperti yang sudah-sudah tak ada yang mampu menandingi ka ji dalam hal sarang udan dan dengan pujian yang demikian luntur juga kecurigaan ka ji kepada mereka. Jika ada yang mampu menandingi ka ji maka itu adalah jin peliharaanya sendiri demitri khodcenkkoplaykh. 

Memang demitri tidak diketahui keberadaanya semenjak beberapa hari ini dan cukup membuat ka ji khawatir. Pada akhirnya ka ji tidak mampu menemukan orang yang bertanggung jawab atas hujan yang meluluhlantakan pesta perkawinan anak gadisnya itu. 

Demitri tidak pernah kembali kepadanya lagi dan anak gadisnya dibawa lari oleh menantunya begitu juga orang-orang yang biasa menyewa jasanya tidak pernah lagi datang setelah kabar burung mengatakan anaknya mati sebagai tumbal demit.

Ka Ji kini dianggap gila oleh orang-orang karena sering ngoceh sendiri sambil memegang secarik kertas kosong dan membacanya seolah itu surat.

"Demit goblok! Sudah enak disini bisa makan puas dan santai-santai sesuka hati. Malah pergi ke negara perang mengais barang lungsuran. Asal kau tahu saja di negara asalmu sana kamu akan mati kelaparan karena di masa perang manusia akan sering berdoa dan menghargai setiap makanan yang dapat mereka makan, tidak seperti disini dasar goblok, jin goblok!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun