STY Out kembali berkumandang usai timnas Indonesia gagal juara di Piala AFF 2022.
Sebelumnya, Asnawi dan kawan-kawan takluk dari Vietnam 2-0 dalam lanjutan babak semifinal leg 2 Piala AFF 2022 yang digelar pada Senin (9/12/2022) di My Dinh National Stadium, Vietnam.
Kekalahan tersebut memupuskan harapan masyarakat Indonesia untuk melihat timnas mengangkat Piala AFF yang telah didambakan sejak lama.
Banyak pihak yang beranggapan sudah waktunya pelatih Shin Tae-yong untuk cabut hingga seruan STY Out pun membanjiri linimasa media sosial Twitter. Sejak kemarin malam hingga artikel ini ditulis, tagar STY Out masih menjadi trending topic.
Namun sejatinya, STY Out bukan lah solusi untuk kemajuan timnas Indonesia. Sudah terbukti dari deretan pelatih sebelumnya dengan beragam latar belakang tak pernah membuahkan prestasi.
Hal yang harus dibenahi oleh para pemangku kepentingan adalah pembinaan pemain muda yang tak hanya fokus pada kemampuan fisik dan teknik, tapi juga mental serta pola pikir sebagai pesepakbola professional.
Selain itu, pengelolan liga lokal juga masih jadi PR PSSI yang tak pernah selesai dikerjakan. Berbagai era kepemimpinan telah dilewati namun janji perbaikan tak pernah ditepati.
Masih segar di ingatan kita bagaimana tragedi kanjuruhan memakan ratusan korban dan jadi salah satu tragedi terburuk sepak bola dunia sepanjang sejarah.
Kerusuhan suporter acap kali terjadi dan tak bisa dihindari dalam sebuah pertandingan, yang membedakan adalah bagaimana para petinggi menangani masalah tersebut untuk tujuan pencegahan atau setidaknya meminimalisir korban jiwa.
Terdengar klise memang, namun pembinaan pemain muda dan pengelolaan liga adalah dua hal mendasar untuk pembentukan timnas yang berprestasi.
Tak perlu jauh-jauh, kita bisa mengambil contoh dari Maroko, negara yang membuat kejutan di Piala Dunia 2022 Qatar. Maroko memang tak mengangkat trofi Piala Dunia, tapi mereka sukses mencetak sejarah sebagai tim Afrika pertama di semifinal Piala Dunia.
Prestasi tersebut tentu tidak diraih dalam waktu singkat. Dilansir dari Kompas.com, Maroko memiliki akademi sepak bola khusus yang didirikan oleh Raja Mohammed VI pada 2010.
Tak tanggung-tanggung, fasilitas bernama Mohammed VI Football Academy itu dibangun dengan biaya sekitar 10 juta euro dan memiliki program latihan untuk pemain muda berusia 13-18 tahun.
Sejumlah lulusan Mohammed VI Football Academy pun kini merajut karir di benua eropa dan turut berpartisipasi di Piala Dunia 2022. Mereka adalah Youssef En-Nesyri (Sevilla), Nayef Aguerd (West Ham United), hingga Azzedine Ounahi (Angers).
Butuh waktu lebih dari 10 tahun bagi Maroko untuk memetik buah kesuksesan dari apa yang mereka tanam. Hal tersebut sepatutnya dijadikan contoh bagi Indonesia jika ingin memiliki timnas sepak bola yang berkembang.
Fans timnas Indonesia harus lebih dewasa dalam menyikapi kekalahan di sebuah pertandingan. Di sisi lain, PSSI juga perlu fokus mewujudkan proyek jangka panjang sepak bola Nasional.
Sudah seharusnya kedua stakeholder tersebut saling berkontribusi sesuai porsinya masing-masing. Karena jika tidak, selamanya sepak bola Indonesia tak akan kemana-mana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H