Halo Sobat Kompasiana,
Baru-baru ini kita dihebohkan dengan postingan foto di media sosial yang menunjukkan kuman dari dahak seorang anak usia 1 tahun 8 bulan yang kebal terhadap banyak Antibiotik. Tentu saja hal ini menjadi ironi karena salah satu faktor dari timbulnya kuman yang kebal dari antibiotik adalah karena penggunaan antibiotik yang tidak tepat.
Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) telah menyatakan bahwa peningkatan jumlah kuman yang kebal/resisten terhadap antibiotik sebagai suatu masalah dunia yang perlu ditanggapi serius oleh seluruh pihak. Berbagai upaya telah dilakukan oleh WHO dalam berusaha memerangi maraknya resistensi antibiotik, salah satunya melalui edukasi dengan pembuatan infografis yang akan saya cantumkan dalam artikel ini.
Prinsipnya adalah, kultur dilakukan melihat secara spesifik  apa jenis kuman penyebab dari sakit yang diderita pasien. Sebagai contoh, sungguh logis bila seorang pasien dengan infeksi radang paru (pneumonia), untuk mengambil dahak sebagai bahan kultur; dan sebaliknya pada seorang pasien dengan infeksi saluran kencing, maka dokter dapat mengambil urine pasien untuk dilakukan kultur.
Setelah kuman tumbuh di laboratorium (biasanya di tumbuhkan di media Agar), maka akan dilakukan identifikasi jenis kuman; dan setelahnya akan dilakukan tes resistensi antibiotik. Jadi kuman yang telah tumbuh akan diberikan beberapa jenis antibiotik, dan dilihat mana yang kebal dan mana yang masih efektif.
Bila kuman kebal terhadap antibiotik jenis tertentu, akan diberi tanda "R" atau resisten. Sedangkan bila masih sensitif terhadap antibiotik tersebut maka akan ditandai dengan huruf "S" atau sensitif.
Hasil kultur ini sangat membantu dokter dalam menentukan antibiotik yang tepat untuk mengatasi infeksi kuman tersebut. Sekilas dari foto tersebut, semua antibiotik telah resisten atau kebal terhadap kuman yang ditemukan dari kultur dahak. Dalam hal ini, kemungkinan kuman sebagai kolonisasi juga perlu diperhitungkan.
Persepsi yang salah tersebut menjadikan penggunaan antibiotik yang luas di masyarakat dan menggunakan antibiotik secara sendiri tanpa memeriksakan diri terlebih dahulu ke dokter. Ataupun perilaku mengulang antibiotik sendiri yang pernah diresepkan dokter karena penyakit yang sama juga menjadi tidak tepat.