Mohon tunggu...
Randy Alvianto
Randy Alvianto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang mahasiswa yang sedang dalam proses belajar.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Amr bin Luhay dan Awal Mula Penyembahan Berhala di Kota Mekkah

16 April 2023   20:38 Diperbarui: 4 Juni 2023   21:35 977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagaimana yang telah dibahas dalam artikel sebelumnya, bahwa pada awal mulanya bangsa Arab di Mekkah sangat memegang teguh ajaran yang dibawa oleh Nabi Ibrahim AS dan anaknya, Nabi Ismail AS. Ajaran ini sering kali disebut dengan ajaran yang hanif, yaitu ajaran orang-orang yang lurus. Akan tetapi, dengan seiring bergulirnya waktu. Mereka perlahan-lahan mulai meninggalkan ajaran tersebut, mereka mulai meninggalkan ketauhidan mereka kepada Allah SWT dan mulai menyembah kepada berhala-berhala. Lama-kelamaan paganisme (penyembahan terhadap berhala) mulai menjadi kepercayaan mayoritas dan menyebar ke seluruh penjuru Mekkah bahkan Jazirah Arab. Masa-masa ini kemudian hari sering disebut sebagai masa jahiliyah atau masa kebodohan. Pada dasarnya, masyarakat Arab pra-Islam telah menggunakan kata "Allah". Hal ini dapat diketahui melalui syair-syair yang ditulis pada masa itu di mana para penyair jahiliyah telah menyebut kata "Allah". Kata ini juga ditemukan pada prasasti-prasasti yang tertulis di atas batu. Penggunaan nama seperti "Abdullah" yang berarti hamba Allah juga mengindikasikan bahwa masyarakat Arab sebelum datangnya Islam khususnya di kota Mekkah pada masa itu masih mempercayai keberadaan Allah SWT. Mereka sebenarnya meyakini bahwa Allah adalah pencipta yang menurunkan hujan, menghidupkan bumi, dan sebagai penguasa Ka'bah. Akan tetapi di satu sisi yang lain, mereka hanya mengingat Allah dalam keadaan yang mengancam jiwa seperti diterjang gelombang laut dan musibah lainnya. Setelah mereka merasa aman, maka mereka kembali kepada penyembahan berhala tersebut. Mereka meyakini adanya anak-anak Tuhan yang kemudian mereka manifestasikan ke dalam bentuk berhala dan sejenisnya. Bagi mereka berhala-berhala tersebut dapat menjadi perantara atau pemberi syafaat untuk memohon kepada Allah sebagai Tuhan Tertinggi. Mereka juga pada umumnya tidak percaya kepada hari kiamat dan juga tidak percaya akan adanya hari kebangkitan setelah kematian.

Lantas mungkin akan muncul pertanyaan dalam benak kita. Siapa sebenarnya yang pertama kali memperkenalkan ajaran untuk menyembah berhala kepada penduduk Mekkah tersebut? Serta bagaimana bisa kota Mekkah yang di dalamnya terdapat situs suci berupa Ka'bah dapat bertransformasi menjadi tempat penyembahan berhala? Terkait dengan hal ini, muncul seseorang yang bernama Amr bin Luhay. Ia adalah seorang pemimpin Bani Khuza'ah dan sosok yang dianggap paling bertanggung jawab atas kehadiran serta penyembahan kepada berhala di kota Mekkah. Hal ini bermula ketika ia melakukan sebuah perjalanan ke Syam (sekarang merupakan negara Lebanon, Palestina, Suriah, dan Yordania modern). Di sana ia melihat penduduk Syam yang menyembah berhala dan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang baik dan benar. Hal ini dikarenakan menurutnya, Syam adalah daerah serta tempat tinggal para rasul dan daerah tempat diturunkannya kitab-kitab. Maka dari itu ia membeli dan membawa pulang berhala tersebut ke kota Mekkah. Ia pulang ke Mekkah sembari membawa pulang sebuah berhala yang bernama Hubal. Berhala tersebut kemudian ia letakkan di dalam Ka'bah. Ia kemudian mengajak para penduduk Mekkah untuk menyembah berhala tersebut dan menyekutukan Allah SWT. Hubal adalah salah satu berhala yang dianggap paling agung. Mereka mempercayai bahwa Hubal adalah dewa terbesar. Berhala Hubal sendiri terbuat dari batu akik berwarna merah dan berbentuk manusia. 

Selain Hubal yang mereka anggap sebagai berhala paling agung, juga terdapat tiga berhala besar yang pada saat itu dipercaya oleh masyarakat Arab pra-Islam. Berhala-berhala tersebut adalah Lata, Uzza, dan Manat. Dalam kepercayaan bangsa Arab pra-Islam, Lata adalah berhala dari batu dan disembah suku Tsaqif di Thaif. Mereka percaya bahwa Lata adalah sosok dewa tertua. Adapun Uzza berarti putri Tuhan yang perkasa, berhala ini berkedudukan di bawah Hubal dan terletak di Wadi Nakhlah. Uzza tidak hanya disembah oleh kaum Quraisy dan Kinanah saja, akan tetapi juga disembah oleh suku-suku lain. Orang-orang tua pada masa itu kerap kali menamakan anak-anak mereka sesuai dengan berhala atau dewa-dewa tersebut. Seperti Abdul Uzza yang merupakan nama asli dari Abu Lahab. Sedangkan berhala Manat, yang berarti putri Tuhan penentu nasib, hidup, dan mati manusia. Manat juga merupakan salah satu berhala tertua. Berhala Manat ini terletak di Qudaid, sebuah desa dengan banyak mata air, di utara Mekkah arah ke Madinah.  

Selain berhala-berhala besar yang telah disebutkan di atas, masih terdapat sekitar 300-an berhala yang disembah dan diletakkan oleh bangsa Arab pra-Islam di sekitar Ka'bah. Berhala-berhala tersebut dibuat oleh mereka sendiri sesuai dengan kepentingan dan tujuan hidup mereka masing-masing. Bahkan disebutkan bahwa setiap kabilah dan di setiap rumah pasti memiliki berhalanya sendiri. Jenis dan bentuk berhala ini bermacam-macam, semua ini tergantung dengan persepsi mereka terhadap Tuhannya. Bagi bangsa Arab, sebelum mereka melakukan kegiatan sehari-hari mereka akan menemui berhala-berhala tersebut untuk meminta perlindungan. Mereka juga memenuhi Masjidil Haram dengan berbagai macam berhala dan juga patung-patung. Ka'bah yang sebelumnya merupakan bangunan suci dan digunakan untuk beribadah serta menyembah Allah SWT sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Ibrahim AS, berubah menjadi tempat penyembahan berhala. Diriwayatkan ketika Rasulullah SAW menaklukan kota Mekkah, terdapat 360 berhala yang bertebaran di sekitar Ka'bah. Beliau lalu menghancurkan berhala-berhala tersebut hingga runtuh semua, dan memerintahkan agar berhala-berhala tersebut dikeluarkan dari masjid dan dibakar. 

Begitulah kemusyrikan merebak dan berhala-berhala bertebaran disetiap tempat di Hijaz. Yang menjadi fenomena terbesar dari kemusyrikan yang dilakukan kaum Jahiliyah pada masa itu ialah mereka menganggap bahwa diri mereka masih berada pada agama Ibrahim (hanif). Selain itu, mereka juga mempunyai beberapa tradisi serta penyembahan terhadap berhala yang sebagian besarnya juga diciptakan oleh Amr bin Luhay. Beberapa tradisi atau upacara penyembahan berhala tersebut antara lain :

  • Mereka mengelilingi berhala dan mendatanginya, berkomat-kamit di hadapannya, meminta pertolongan tatkala menghadapi kesulitan, berdoa untuk memenuhi kebutuhan, dengan penuh keyakinan bahwa berhala-berhala tersebut dapat memberikan syafaat di sisi Allah dan mewujudkan apa yang mereka minta.
  • Mereka menunaikan haji dan thawaf di sekeliling berhala, merunduk dan sujud di hadapannya.
  • Mereka bertaqarrub dengan menyembelih serta mengorbankan hewan sembelihan demi dan dengan menyebut nama berhala. 
  • Mereka juga mengkhususkan sebagian dari makanan dan minuman serta hasil panen dan binatang piaraan yang mereka pilih untuk disajikan kepada berhala.
  • Mereka juga melakukan nadzar dengan menyajikan sebagian hasil tanaman dan ternak mereka kepada berhala.

Selain penyembahan terhadap berhala, masyarakat jahiliyah pada masa itu kerap kali percaya dengan pengundian nasib. Mereka sering melakukan pengundian nasib dengan anak panah di hadapan berhala Hubal. Mereka juga percaya dengan yang namanya peramal, paranormal, dan juga ahli nujum. Meskipun pada umumnya masyarakat Arab pada masa itu melakukan penyimpangan dan juga penyembahan terhadap berhala, akan tetapi masih terdapat sebagian kecil masyarakat yang tetap berpengang teguh dan mempertahakan kepercayaan monotheisme (tauhid) seperti yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim AS. Kelompok ini biasa disebut dengan al-hunafa. Diantara mereka adalah Umar bin Nufail, Zuhair bin Abi Salma, serta Waraqah bin Naufal. Mereka adalah orang-orang yang meninggalkan penyembahan terhadap berhala serta kebiasaan jahiliyah lainnya, serta percaya akan adanya Tuhan Yang Maha Esa serta hari kebangkitan. Wallahu a'lam.

REFERENSI

Al-Mubarakfuri, Shafiyyurrahman. (2008). Sirah Nabawiyah. (Kathur Suhardi, Terjemahan). Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.

Lembaga Studi Islam dan Pengembangan Kepribadian (LSIPK) Universitas Islam Bandung. (2017). Sejarah Peradaban Islam: Buku Panduan Pendidikan Agama Islam (PAI). Bandung.

Nasution, Syamruddin. (2013). Sejarah Peradaban Islam. Pekanbaru: Yayasan Pustaka Riau.

Sari, Kartika. (2015). Sejarah Peradaban Islam. Bangka Belitung: SHIDDIQ PRESS.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun