Artificial Intelligence (AI) alias Kecerdasan Buatan dalam berbagai bidang sudah menjadi fenomena tersendiri apalagi sejak diluncurkannya ChatGPT oleh perusahaan OpenAI beberapa tahun silam. Banyak sekali aplikasi maupun situs AI bermunculan bak jamur di musim hujan, mulai dari yang gratisan hingga berbayar. Tentu saja selain AI generatif penghasil foto/gambar, ada juga AI penghasil video, musik-lagu, hingga kata-kata. Modal yang dibutuhkan hanya serangkaian kalimat yang disebut prompt.
Sebelum masuk ke bidang kepenulisan, izinkan penulis memberi perumpamaan bidang lain dulu agar lebih mudah dibayangkan. Misalnya AI generatif dalam bidang seni rupa/desain atau visual. Prompt yang semakin lengkap dan semakin rinci akan menghasilkan apa saja yang dimasukkan atau diketikkan oleh si pengguna/user. Entah foto pemandangaan yang bagaimana, potret mirip artis siapa, ngapain, bersama siapa, gaya/coretannya bagaimana. Praktis dan bikin kecanduan, bukan? Apalagi jika sudah menemukan prompt alias formula yang tepat. Meskipun sering beda dengan ekspektasi, jika sudah jago ya bisa saja hasilnya akan semakin 'sempurna'. Bahkan sudah ada seminar/kursus untuk membuat prompt seperti ini, lho.
Nah, AI generatif dalam literasi kepenulisan tentu juga sami mawon. Mau nulis tentang apa saja, AI selalu bisa instan buatkan untuk kita. Misalnya bagaimana? 'Buatkan saya sebuah cerita pendek/puisi/artikel (terserah) sepanjang 3600 karakter, temanya tentang bla-bla-bla (silakan isi sendiri), tokohnya berapa banyak, ending-nya begini-begitu'. Nah, tekan enter, tinggal tunggu hasilnya keluar.
Sayangnya, dengan adanya AI generatif kepenulisan sedemikian, akan sangat banyak oknum penulis-penulis 'dadakan' (atau mungkin bahkan sebenarnya/aslinya, penulis orisinal yang dulu/biasanya harus bersusah-payah menarikan jari 1000 kata per jam seperti penulis artikel ini) yang bisa kapan saja men-copy paste hasil prompt besutan si AI lalu memasukkannya/rilis ke dalam beberapa media sosial/blog yang bisa mendapatkan uang lelah, atau poin dan semacamnya. Postingan yang sering dan berlimpah tentu saja bisa mendapatkan cuan lebih banyak dan cepat daripada penulis asli yang melakukan riset terlebih dahulu, mencari ide dengan susah-payah, intinya menulis dari hati dengan segenap usaha-tenaga dan kecerdasan-kemampuan sendiri. Nulis non fiksi sudah termasuk data dan sumber-sumber, nulis fiksi sudah ada 'jalan cerita'-nya.
"Halah, sudah ada AI ini! Buat apa susah-susah mikir, riset, ngetik/nulis sendiri! Udah kuno, capek, ketinggalan zaman!" mungkin demikian yang ada dalam hati para oknum penulis instan sedemikian. Apalagi jika mereka bisa dengan cerdasnya berkelit 'Oh, tentu saja, saya tidak menggunakan AI!' jika ditanya. Tentu saja para pembaca awam yang belum benar-benar mengenal gaya menulis mereka tidak akan curiga dan terus membaca serta manggut-manggut saja. Padahal literatur hasil prompt saja tanpa pengolahan terbaca sedemikian berbeda rasa dengan tulisan betulan. Tawar, kaku, baku, penuh dengan SPOK belaka.
Sedihnya, dengan mindset kekinian yang demikian, bukan hanya para oknum penulis 'curang' saja yang bisa menangguk keuntungan dari berbagai situs dan platform menulis sebanyak-banyaknya. Bahkan para pelajar dan mahasiswa bisa kapan saja mengarang atau menulis tugas, karya ilmiah hingga skripsi lewat prompt saja, alias nge-prompt 'tok'.
Pertanyaan retorik penulis: "Lha, ini yang menulis robot atau manusia, 'sih? Padahal literatur ya sejatinya karya tulis manusia untuk dibaca sesama manusia, bukan untuk dibaca robot!"
Literasi Bangsa Indonesia yang masih sangat rendah dengan tingkat minat baca-tulis yang rendah saja masih sangat perlu ditingkatkan. Apabila penggunaan AI generatif seenaknya (nge-prompt tinggal copas) di bidang literasi kepenulisan seperti ini dibiarkan bahkan masuk ke dalam kurikulum sekolah/perkuliahan, maka bagaimana mungkin bangsa kita ini bisa melestarikan indahnya esensi kepenulisan?
Ingatlah bahwa nenek moyang kita penemu sejarah dan tulisan sudah bersusah-payah terlebih dahulu mengukir-memahat di atas batu, hingga bagaimana sastrawan-sastrawati lintas zaman bersusah payah menulis dan mengetik dengan hasil pemikiran sendiri.
Bagaimanapun, mari kita yang masih sadar diri melestarikan literasi baca-tulis sungguhan. Menulis/mengetiklah sendiri karya literaturmu dengan atas dasar ide/aspirasi sendiri hingga menjadi inspirasi bagi sesama. Berkolaborasi dengan sesama manusia, tentu saja boleh.
Kecerdasan buatan hanyalah sebuah komplementer, asisten yang bisa membantu kepenulisan, bukan untuk substitusi/menggantikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H