"Mau apa kau datang kemari? Ocean dan Sky bisa segera kembali sewaktu-waktu." Emily berusaha menjaga jarak sejauh mungkin darinya, seolah-olah Earth adalah kobaran api biru yang panas siap menghanguskan.
Terlebih lagi saat disadarinya ia hanya mengenakan bath robe, dan sedikit belahan dadanya masih mengintip. Dan tentu saja Earth  takkan melewatkan pemandangan menggoda itu.
"Aku tak ingin apa-apa, hanya mau memastikan semalam kau tak apa-apa. Karena aku tahu kau bersama dengan kakak sulungku di aula."
"Tak ada apapun terjadi di antara kami. Aku dan Ocean belum menjadi pasangan kekasih. Aku belum menerimanya."
"Kuharap begitu. Sebab jika engkau berani menerimanya, aku takkan pernah memaafkan kalian berdua. Aku begitu ingin kau menerimaku."
Pemuda itu berdiri, dan tiba-tiba saja Emily menemukan dirinya direngkuh oleh sosok tinggi kurus yang tampak mulai tak jauh berbeda dengan Ocean itu. Rambutnya cokelat, matanya biru mengunci, dan wangi aroma alam seperti dedaunan di hutan yang segar tercium.
"Aku, aku.. " Emily tak mampu berbicara banyak lagi. Sesaat dibiarkannya Earth memeluk dan mencium tengkuk sambil membelai rambut bob pirang keemasannya. Seperti kekasih sungguhan yang begitu rindu dan sama sekali tak kasar terhadapnya.
"Aku ingin sekali bertemu denganmu, bahkan jika harus melalui gerbang maut sekalipun." ucap puitis pemuda yang dahulu masih begitu lugu dan polos, namun mulai menemukan kepribadiannya yang seharusnya. Misterius, membius, memabukkan.
"Apa yang sesungguhnya kau inginkan, Earth? Apa kau menginginkan Pedang Terkutuk-mu itu kembali?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H