Konten Hari Anak Nasional 2023 ini mungkin terlambat penulis angkat satu hari, namun tetap ingin penulis gaungkan agar bisa menjadi bahan renungan aktual bagi kita semua sebagai sesama orang tua, guru, dan generasi pertengahan yang tentunya ingin agar para penerus kita nanti bisa melanjutkan tugas mulia kita bagi nusa dan bangsa.
Di saat banyak anak-anak di bawah umur masih terpapar bahkan mencandu gawai, ternyata bukan hanya masalah kurangnya sosialisasi serta bahaya kesehatan yang mengintai.
Miris, beberapa kenalan dan sahabat malah penulis perhatikan memberi putra-putri mereka gawai dengan bebas, bahkan tanpa batas kendali dan waktu.
Memang pada era pasca pandemi Covid-19 seperti ini, belum semua orang bahkan anak-anak bisa dengan mudah lepas dari penggunaan internet yang mulai masif sejak akhir tahun 2020-an hingga sekarang. Pembelajaran jarak jauh menjadi salah satu alasan sekaligus penyebab lekatnya gawai dengan kita, mengingat dikuranginya kontak fisik serta terjadinya pembatasan sosial. Segala sesuatu termasuk hiburan menjadi online, termasuk permainan dan konten yang tentunya semakin bebas diunggah dan diunduh siapa saja secara gratis, hanya membutuhkan pulsa/kuota atau koneksi wi-fi.
Mirisnya  lagi, semakin banyak pihak konten kreator atas nama uang atau popularitas mengunggah aneka konten yang tak bisa begitu saja diawasi dan disensor oleh pemerintah. Lemahnya pengawasan aplikasi dan platform menjadi alasan pembenaran.
Apa saja misalnya? Game yang mengajarkan tindakan bunuh diri dan romantisasi kekerasan. Novel online yang kurang mendidik dengan segala judul berbunyi ranjang, gairah, janda, perceraian, selingkuh dan sebagainya. Konten tiktok FYP yang memberi kesan lucu namun cenderung memberi masukan asal saja seperti humor tentang toilet, kotoran manusia, bahkan hantu dan darah.
Semua tidak lepas dari pengawasan orang tua yang sangat lemah, oknum guru-guru yang cenderung masih memberikan beban tugas secara online kepada siswa-siswi yang kini sudah belajar secara offline alias tatap muka (sekilas seperti tak berbahaya, akan tetapi tanpa memperhitungkan bagaimana dampaknya di kemudian hari), serta tentunya selera pasar yang masih menginginkan konten-konten viral dan menghebohkan (tapi minus mutu) dengan alasan cuan.
Anak-anak yang tanpa dosa menonton dan menikmati semua tayangan hiburan tersebut kemudian beberapa merasa malu dan bersalah namun terlanjur kecanduan, ada yang menanyakan dan mencari jawab dengan berdialog dengan sesama teman seusia (yang sama-sama tidak tahu kebenarannya) bahkan menganggap sebagai rahasia bersama. Orang tua pulang bekerja, mereka kembali menjelma menjadi malaikat-malaikat manis. Game-game buru-buru di-uninstall, konten dihapus, dan sebagainya.
Patut kita pelajari kembali bagaimana caranya agar anak bisa menggunakan gawai dengan aman. Saringan dari aplikasi dan platform harus diperketat sehingga tidak menayangkan iklan konten dewasa mereka di dalam game yang jelas diperuntukkan untuk anak-anak dan media sosial yang banyak diakses oleh akun anak-anak.
Beberapa hal yang bisa kita lakukan mulai dari diri sendiri: