(Point-of-view Ocean Vagano:)
'Aku terus menjelajahi Lorong Bawah Tanah sambil berusaha mencari jalan keluar. Senter kunyalakan seminim mungkin agar bisa bertahan lebih lama, serta kamera video yang sedari awal dipersiapkan pun masih terus merekam.
Aku belum berhasil menemukan tali pemandu yang bisa menuntun kembali ke jalan masuk. Hanya berputar-putar tak tentu arah dalam kegelapan sambil berusaha tetap tenang dan tidak panik, sebab tempat ini bagaikan labirin mimpi buruk dalam game-game survival horror yang sering kumainkan bersama Sky di malam-malam liburan kuliah kami di kota. Tapi pada praktiknya semua terasa berbeda.
Belum lagi suara-suara aneh yang terkadang terdengar, apakah makhluk tadi masih ada di sini mengintaiku? Tapi entah mengapa, aku merasa ia tak mengancamku.
Sebuah ruangan yang kuduga sebuah gudang kujumpai, seakan mengundangku masuk. Di bawah sorotan suram lampu senter, kulihat beberapa benda rongsokan yang kurasa tergusur dari museum puri karena sudah rusak, atau... mungkinkah karena dirahasiakan seseorang dari kami?
Lukisan kanvas potret bayi-bayi kembar.
Yang ada di museum seingatku hanya potret bayi Sky dan aku. Juga kenang-kenangan saat kami masih batita, balita hingga menjelang usia kami diberangkatkan untuk menempuh pendidikan formal di kota.
Tapi lukisan yang tadi kusebutkan belum pernah kulihat seumur hidupku. Tiga bayi baru lahir, kurasa salah satu bayi itu adalah Earth.
Emily betul. Semua yang ia ceritakan itu bukan karangan atau ilusi.
Entah Earth atau ayah kami masih ada, atau bahkan mereka berdua.
Bagaimana mungkin? Dan mengapa harus ada yang terbunuh dan terluka hanya karena sesuatu di masa lalu?
Hannah dan Lilian mengetahui lebih banyak dari yang selama ini kukira. Emily juga. Sejak kehadirannya, ia tak hanya menimbulkan kelembutan dan cinta. Ia memicu sesuatu yang selama ini tertidur pulas.
Astaga. Puisi ayahku 'Kutukan Angka Tiga' mungkinkah sebenarnya bukan hanya tentang kesedihan belaka. Bukan hanya sebuah karya seni pelampiasan atau memori suram belaka.
Ayah. Earth. Aku belum begitu mengerti. Aku harus segera keluar dari sini dan menemukan jawabannya.
Belum lagi ancaman Hannah akan adanya suatu kejutan pada ulang tahunku dan Sky yang tinggal menghitung hari.'
***
(Point-of-view Earth Vagano:)
'Aku baru pertama kali masuk ke kamar Ocean kakak kembar yang belum pernah kujumpai. Ya, bahkan kakak keduaku Sky tadi tak mengira aku bukanlah dia, melainkan kembaran yang selama ini terlupakan.
Aku bebersih, merapikan diri dan mengenakan salah satu busana kakakku yang kutemukan dalam lemarinya yang begitu mewah dan besar. Sungguh ironis dengan semua yang sudah kualami. Tapi sudahlah, aku tak ingin memikirkannya lagi.
Selama aku sudah memiliki Emily.
Mungkin belum seutuhnya. Sebab gadis itu tentu masih memikirkan ciuman pertamanya dengan Ocean. Membayangkan semua tentang kakakku yang begitu istimewa itu.
Orang yang bisa jadi adalah pria di hatinya sebelum aku. Sebab aku memang bukan yang pertama kali.
Menambah bara kecemburuan di hatiku.
Aku berdiri tegap, mematutkan penampilanku yang baru di depan kaca.
Merasa semakin yakin, percaya diri, dan siap merebut kedudukan Ocean di tempat ini.
Sanggupkah aku? Mengapa tidak, aku belum mencobanya.
Dan sisa dini hari hingga fajar menjelang aku terjatuh di ranjang yang begitu nyaman seperti awan di surga.
Entah bagaimana bila kakakku yang asli muncul nanti, aku tak tahu apa yang akan terjadi.
Akankah aku berdamai dengannya, atau semua malah berakhir tragis dalam malapetaka?'
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H