Mohon tunggu...
Wiselovehope aka Poetvocator
Wiselovehope aka Poetvocator Mohon Tunggu... Novelis - Desainer Komvis dan Penulis Lepas. Unik, orisinal, menulis dari hati.

aka Julianti D. ~ Instagram: @wiselovehope Https://linktr.ee/wiselovehope Https://pimedia.id/wiselovehope Email: wiselovehope@gmail.com Akun Opinia: Julianti Dewi (Wiselovehope) Akun Tiktok: juliantiwiselovehope Akun X:@wiselovehope Akun Threads: @wiselovehope

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Episode 60: Cursed: Kutukan Kembar Tampan (Novel Romansa Misteri)

14 Juli 2023   14:21 Diperbarui: 14 Juli 2023   14:21 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Point-of-view Seseorang di Lorong Bawah Tanah:)

Aku mungkin kehilangan akal sehat, kehilangan anggota keluarga, serta apapun yang dulu kumiliki, termasuk cinta. Bahkan wanita yang dulu kucintai, lalu tidak jadi kupilih karena sifatnya yang tak cocok lagi denganku, telah menghempaskanku begitu saja setelah aku tak lagi berharga di matanya.

Semua orang mengiraku mati. Semua orang tak lagi perduli kepadaku termasuk Hannah. Hanya karena aku menolak cintanya dan juga menolak menerima lahirnya anak ketigaku.

Ya! Karena kelahirannya memang tak kukehendaki! Satu atau dua putra dari wanita yang kupilih, baiklah. Aku sungguh bersyukur dan bahagia bisa memiliki dua putra pada saat bersamaan.Tapi tiga? Aku tak siap dan begitu terkejut. Apalagi disusul dengan perginya seseorang yang kucinta selepas kehadirannya di dunia ini?

Walaupun masih bayi, aku tak berkenan memilikinya sebagai ganti istriku! Mungkin aku seorang ayah yang kejam, namun memang hal itulah yang kurasakan.


Istriku, yang kupilih dan kucintai dengan susah payah setelah dilema berlarut-larut antara wanita yang dulu kuperjuangkan dengan susah payah!

Florence yang begitu murni dan tulus, yang tadinya begitu gembira saat tahu ada dua putra yang telah ia lahirkan!

Namun yang ketiga keluar dari rahimnya dengan begitu susah, dan menyebabkan ia pergi begitu saja dari dunia ini tanpa pesan.

Ia mesti kurelakan pergi, terenggut paksa dari tubuhnya di saat semestinya aku begitu bahagia bersama keluarga kecilku!

Dan Hannah tentu saja senang begitu aku meratapi kepergiannya yang membuatku pilu. Dipikirnya aku yang menduda akan mencari ibu pengganti bagi putra kembarnya. Ia masih mengharapkanku, aku tahu. Tapi hatiku sudah terlanjur dingin. Dan aku ingin mati saja bersama Florence yang terbujur kaku dalam peti mati berlapis satin itu.

Sebagai seorang ayah baru, aku bahkan tak sanggup merawat kedua putra kecilku Ocean dan Sky.

Aku tak ingin merawat Earth. Ia kunamai juga Avalanche, sebab bagiku ia adalah gempa besar, bencana yang menelan nyawa ibu kandungnya sendiri!

Aku bahkan tak ingin melihatnya lagi setelah tanah menutupi makam Florence. Maka kubiarkan saja Hannah membawanya entah kemana. Barangkali dibesarkannya atau dibunuhnya, aku tak mau tahu. Biarlah aku dicap sebagai ayah yang tega dan kejam, sebab memang aku layak dipersalahkan. Istriku sudah cukup mendukakanku dengan kepergiannya!

Aku sadar keluargaku adalah bencana besar, keluarga yang seharusnya tak pernah ada! Karena sebentuk sisa cinta yang begitu kuat membayang-bayangi sedari awal.

Hannah yang kubawa dalam hidupku mungkin adalah kesalahan terbesarku sebelum ini, dan cinta kami memang seharusnya tak pernah ada. Karena perasaanku terhadap dirinya telah padam, tetapi tidak demikian dengannya.

Sekarang apa yang harus kulakukan, setelah semua orang menganggapku stres, sakit dan gila dan sebagainya?

Dan pada suatu malam, saat aku sedang 'tidur', Hannah memerintahkan beberapa orang upahannya untuk menjebloskanku kemari. Aku sebenarnya tak benar-benar tidur, tapi begitu lemas hingga tak bisa mengendalikan diri, kurasa Hannah memberiku obat penenang lebih banyak dari yang biasa kukonsumsi pasca meninggalnya Florence.

Dan aku terjaga di sini, hingga saat ini, hampir dua puluh tiga tahun lamanya aku bertahan sebisaku tanpa makanan, tanpa air, tanpa cahaya matahari. Mungkin semua orang mengiraku sudah mati. Namun lorong terkutuk ini juga menyediakan semua yang kubutuhkan. Semua hewan menjijikkan sudah kucicipi dan air kotor sudah kuminum bagaikan air mineral pegunungan yang segar.

Hanya saja, baru kali ini aku berdarah. Seseorang hampir saja menemukan dan membunuhku. Namun luka ini kecil saja, tak terasa sakit, dan akan segera sembuh!

Tak sesakit atau sepahit perasaanku.

Aku akan segera membalaskan semuanya ke wanita jahanam itu, lalu ke siapapun yang terkutuk sesuai janjiku dalam puisiku, sebelum aku akan pergi entah ke surga atau neraka menyusul Florence untuk selamanya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun