Kembali pada Emily di pantai yang masih berdua saja dengan Earth, yang baru kali ini berhadap-hadapan sedemikian dekat dan intim hingga bibir mereka bertemu bagaikan sepasang kekasih yang dimabuk cinta.
Tapi Emily merasa ada yang belum saatnya ia berikan walau ia harus menuruti semua permintaan dan perintah Earth.
"Tunggu." ia menahan dada pemuda itu saat Earth mendorongnya ke pasir dan mulai menaruh tangannya yang penasaran ke tubuh Emily, seperti ia pernah lakukan beberapa saat silam.
"Teman belum boleh begini. Ini bukan caranya manusia berteman."
"Apa? Kau tak mau menuruti perintahku?"
Earth yang emosinya masih sangat labil merasa terluka dengan penolakan Emily itu.
PLAK! Tangannya mendarat di salah satu pipi gadis itu.
"Ah..." Emily merasa sedikit perih, walau tamparan itu tak terlalu keras.
"Kau tak boleh menyakiti wanita. Kau harus belajar menghormati wanita, sebab ibumu dulu juga seorang wanita." pipi Emily sedikit memerah dan panas karenanya.
Melihat hal itu Earth jadi sedikit menyesal juga. Ia baru saja menyakiti Emily, teman satu-satunya yang ia miliki sekarang sebab Lilian entah berada di mana.
"Emily, maafkan aku, maafkan, maafkan, maafkan..." lagi-lagi ia menangis tersedu-sedu seperti seorang bocah sekolah dasar yang menyesal.
Dipegangnya pipi Emily yang tadi ditamparnya dan diusapnya dengan lembut seolah-olah ingin menyembuhkannya sesegera mungkin.
"Aku janji takkan melakukan hal itu lagi. Tolong peringatkanlah aku bila aku melakukan hal yang tak boleh dilakukan. Aku ingin sekali bisa berteman dengan mereka yang baik kepadaku. Jadi, aku takkan berbuat aneh-aneh lagi. Tapi..."
Emily merasa kepolosan dan ketulusan Earth itu naif, tapi justru menawan hatinya dengan cara yang begitu alami.
Dipegangnya lagi tangan Earth yang menyentuh pipinya. "Aku berjanji padamu akan selalu ada di sisimu, walau aku masih harus pulang ke puri dulu untuk saat ini. Aku berjanji takkan membicarakan tentangmu bila kau tak mau. Aku takkan membocorkan keberadaanmu maupun pedang itu. Hanya saja, relakanlah aku kembali dahulu."
"Kau mau bersama Ocean lagi? Kau menyukai orang yang sebenarnya kakakku itu bukan?" Earth kembali mendesak Emily ke atas pasir dan kali ini tak memberi gadis itu kesempatan lagi.
Ia tahu di sini tak ada yang melihat mereka, hanya burung-nurung camar yang terbang jauh di atas mereka dan sinar matahari yang mulai tinggi di langit yang cerah.
Maka untuk beberapa saat pemuda itu kembali melakukan apa yang ia suka, walaupun belum sampai terlalu jauh. Bagaikan seekor lebah muda yang pertama kali menemukan madu dalam kelopak bunga, mencoba untuk sedikit membongkar dan mencicipinya.
Emily sendiri bingung mengapa ia membiarkannya. Hanya bisa menutup mata dengan pasrah, merasakan semacam sensasi memabukkan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Untuk beberapa saat ia relakan tubuhnya dibuka dan dipermainkan oleh pemuda bertubuh dewasa namun masih seperti anak-anak yang belum akil balik itu, walau belum sampai ke hal yang sesungguhnya. Earth masih belum berpikir untuk sungguh-sungguh memetik bunga satu-satunya yang ada di pulau ini. Hanya sedikit menikmati pucuk-pucuknya yang membuncah sementara Emily terdiam kelu, antara sedikit rasa sakit namun juga begitu nikmat.
"Ini milikku, kau mau melihatnya?"
Dan untuk pertama kalinya Emily membiarkan matanya melihat milik terpribadi salah satu pemuda kembar tampan itu.
Ia sangat ketakutan sekaligus begitu takjub. Apa yang baru kualami ini mimpi terindah atau sebuah kenyataan terburuk?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H