Pagi menjelang siang itu Emily segera melancarkan aksinya bersama Sky, turun bersama-sama ke Lorong Bawah Tanah. Mereka membawa perlengkapan yang memadai dan tak lupa gulungan tali panjang untuk menandai jalan. Emily ingat rute dari dapur yang biasa dilalui Hannah, jadi hanya dari awal saja ia bisa menunjukkan pintu untuk turun menuju dunia gelap gulita yang bahkan di siang hari bolong tetap terkesan mengerikan.
"Duh, betulan, aku gak mau masuk lagi ke bawah sini bila tahu baunya apek dan menyesakkan seperti ini! Istal kuda kami saja jauh lebih baik, padahal setiap hari rabuk kudanya begitu banyak!" cerocos Sky sambil menyorotkan senter besarnya. Emily berjalan di belakangnya, mereka turun dengan sangat hati-hati sebab anak tangga batu itu licin, curam dan penuh lumut.
Akhirnya mereka berdua tiba di lorong utama yang berdasar batu lembab dan setengah berlumpur.
"Sekarang kemana?" Emily melihat banyak sekali perempatan dan persimpangan tak teratur dari sorotan senter kecil yang dibawanya.
"Ke kanan saja. Biasanya kanan lebih baik. Hanya pendapatku saja, 'sih! Jangan lupa talinya diulur dari sini hingga kita tahu jalan keluar."
"Baiklah, Sky."
Suara-suara mereka kadang bergaung atau bergema di lorong yang suram, sejak kematian petugas waktu itu, bahkan lentera jaman dahulu yang biasa menyala tak lagi dinyalakan sebab tak ada yang pernah turun lagi, kecuali Hannah tentunya!
"Omong-omong, bagaimana hubunganmu dengan kakakku?" Sky mencoba mencairkan suasana tegang.
"Ah, aku..." Emily tak tahu harus berkata apa. "Antara aku dan Ocean? Belum terjadi apa-apa. Aku mungkin suka dia sedikit. Tapi..."
"Aha! Ya, itu sangat dimaklumi. Kakakku memang berwibawa. Sedangkan aku selama ini hanya menjadi bayang-bayangnya saja.."