'Malam itu hujan berhenti, namun aku tak bisa tidur. Emily selalu hadir setiap kali aku berusaha memejamkan mataku, walau sudah begitu lelah tubuhku ini.
Dia ada di luar sana pasti ingin melakukan sesuatu atau menemui seseorang. Tapi siapa?
Di pulau ini hanya ada sangat sedikit orang, dan mustahil Emily keluar bila tak ada hal mendesak.
Lokasi hutan tempat aku menemukannya pun tak berpenghuni. Kecuali ada satu bangunan di sana yang tinggi dan memancarkan cahaya, terletak dekat kumpulan air biru luas yang kurasa disebut lautan.
Dalam hujan badai begini, mungkinkah Emily tadi mengunjungi satu-satunya bangunan itu? Adakah seseorang yang begitu penting di sana? Bagaimana kalau aku keluar lagi untuk mencari tahu?'
Malam dini hari itu juga, Emily membangunkan Ocean dan Sky yang masih terlelap. Mereka berdua, tanpa pernah tahu kepergian Emily ke mercu suar, merasa heran namun mau memberi waktu untuk mendengarkan Emily.
Ketiganya lalu duduk di dapur sambil menyesap minuman hangat yang dihidangkan Hannah, yang ikut terjaga dan segera menyediakan tiga cangkir teh. Wanita kepala pelayan itu seolah-olah pergi begitu menghidangkan minuman buatannya, namun sebenarnya ia bersandar di balik pintu dapur, mendengarkan dalam diam.
"Aku menemukan sesuatu! Kalian memiliki adik! Kalian tak hanya berdua saja!" Emily langsung  mengatakan apa yang baru ia temukan di buku biografi di perpustakaan.
"Kami sudah tahu. Earth, 'kan?" Sky tampaknya masih mengantuk, tak terlihat terkejut, berusaha melawan kantuk sambil erat-erat menggenggam cangkir tehnya.
"Earth Avalance Vagano." tambah Ocean. Ia tak secuek Sky, namun juga tak terlalu berminat karena merasa sudah tahu. Santai menyesap tehnya, ia berujar pelan,
"Adik kami itu sudah meninggal dunia, ia dikremasi, itu kata Hannah." tambah Ocean. "Kami bahkan tak sempat mengenalnya. Ia meninggal saat ibunda kami melahirkannya. Tak ada foto maupun lukisannya. Kami seumur hidup hanya berdua."