"Kupinjam senjata rahasia ini dari mantan majikanku tanpa izin, namun semoga bermanfaat," Henry berusaha membidik, "kukira senjata semacam ini hanya ada dalam fiksi saja, ternyata sungguh-sungguh ada! Doakanlah semoga tepat sasaran!"
Orion dan Rani memasuki area pelataran utama berjalan bundar. Sepeda motor mereka berputar-putar mengelilingi air mancur mati sementara Lazarus terus mengejar.
"Apa-apaan ini? Kalian ingin main-main denganku?" Zombie berapi itu kelihatan semakin gusar.
"Ya. Kejar kami. Luapkanlah segala kemarahan, rasa sakit, lapar dan hausmu kepada kami. Kami siap menerima segalanya!"
Rani yang merasa pusing masih belum mengerti pada kata-kata Orion itu. "Orion!"
"Henry, sekarang!" Pemuda itu mengakhiri putaran-putaran gilanya dan kembali ke arah pintu gerbang utama seolah akan meninggalkan Kompleks Brighton.
Lazarus tampak limbung, kehilangan keseimbangan. Zombie itu memaki-maki. "Kalian..."
Ia tak sadar, sebuah peluru raksasa sedang meluncur cepat ke arahnya. Ledakan besar yang nyaris menulikan gendang telinga terdengar tepat di belakang Rani. Sepeda motor mereka sempat terguncang. Sang Guru terpekik, sementara Sang Bangsawan Muda bersiul pelan dan berujar lega, "Jitu. Terima kasih banyak, Henry."
"A-a-apakah Lazarus..." Rani terbata-bata.
"Karena satu dua peluru kecil tak bisa mematikannya, seperti dalam permainan-permainan game elektronik, dibutuhkan peluru yang jauh lebih besar untuk memusnahkan dirinya. Setidaknya, agar ia mati."
Orion menghentikan sepeda motor dan turun memeriksa. Makhluk besar yang mengekori mereka telah roboh ke tanah. Masih berapi-api, sebuah lubang besar memecahkan tengkoraknya. Anggota tubuh lainnya mulai habis dilalap api. Rani tak sanggup menatap, terpaksa membuang muka.
"No worries. It's over." Orion yakin Lazarus sudah mati untuk ketiga kali, "Rest in peace, rest in pieces."