Orion tak perlu memastikan bahwa ia sedang berhadapan dengan sosok yang mungkin akan menjadi lawan pamungkasnya. Mungkin juga hal terakhir yang dilihatnya di dunia ini. Bukan teman, bukan musuh, bukan siapa-siapanya. Akan tetapi pada titik ini hanya ada satu yang akan selamat, entah dirinya sendiri atau...
"Lazarus!"
Sosok pria beranggota tubuh asimetris tinggi besar yang keluar dari dalam kobaran api itu sedang terbakar hebat. Namun tubuh hangusnya seolah-olah takkan pernah habis. Bagaikan boneka arang raksasa nan masih panas membara, ia melangkah perlahan. Semakin dekat ke tempat di mana Orion dan Grace berada.
Orion berseru selantang mungkin, "Grace, tunggu apa lagi? Cepat pergi dari sini!"
"Tapi, Orion, aku... Ba-ba-baiklah, aku..." hampir pingsan karena sesak lahir batin, Grace tak mampu lagi menahan diri, "Orion, terima kasih, selamat tinggal, good luck!" Berurai air mata, Sang Putri Bungsu akhirnya berbalik dan angkat kaki secepat yang ia bisa.
"Terima kasih kembali, Grace, sudah mendengarkan kata-kataku walaupun aku tak mampu dan takkan pernah menjadi papa sambungmu..." lirih Orion, meski Grace tak lagi di sana, sambil menyiagakan senjata laras panjangnya.
"Anda yang tadi... Anda tak menolongku." Makhluk berjuluk Lazarus itu kini hanya berjarak beberapa meter di hadapan Orion. Rumput di bawah kaki telanjang beserta semua jejaknya terbakar, namun dirinya sendiri bagaikan obor abadi.
"Aku ingin, andai aku bisa. Mungkin bisa kucoba sekarang juga." Orion nyaris terpesona. Sebegitu mengerikannya Lazarus, membetikkan ribuan simpati, miris sekaligus rasa heran. Bagaimana mungkin ada nyawa bisa kembali ke raga yang telah mati, apalagi hanya hasil sambung menyambung anggota tubuh?
"Sudah terlambat! Aku sudah tak bisa lagi percaya kepada manusia manapun. Saat pertama kali kubuka mata, rasa sakit, lapar dan haus ini sudah luar biasa menyiksaku. Kau kira, aku senang dilahirkan kembali ke dunia ini? Kini aku terbakar habis walau takkan pernah habis! Rasanya seperti neraka!" Lazarus berbicara sedemikian lancar, nyaris seperti berdeklamasi. Jelas ia jauh lebih cerdas daripada zombie lainnya, bahkan lebih dari Russell dan Rev. James. Bukan hanya sebentuk naluri yang kembali, namun juga... akal budi?
"Kau takkan bisa lagi diselamatkan, maafkan aku. Aku turut bersimpati sedalam-dalamnya atas apa yang kau alami, Lazarus. Namun maaf, yang kudapat lakukan mungkin hanya membantu mengakhirimu agar jiwamu tenang." Orion berusaha keras membidik kepala Lazarus yang hanya berupa tengkorak menyala-nyala. Hanya tersisa sedikit bibir dan otot wajah menghitam di bagian kepala, sungguh memualkan. Membuat mata-mata yang menatap seakan takkan bisa lepas dari 'mimpi buruk' untuk selamanya.
"Percuma saja. Kau boleh coba sepuas-puasnya, Tuan! Aku siap. Jika Anda gagal, giliranku untuk..."
Sebutir peluru dilepaskan Orion ke pertengahan dahi Lazarus. Bagaikan adegan lambat, timah panas itu jitu mendarat sempurna di titik yang pemuda itu harapkan.
Akan tetapi...
***
Rani sesungguhnya tak ingin ikut masuk ke dalam bunker seperti yang lainnya. Ia tahu, Orion takkan pernah bisa memaafkan jika ia membandel, lalai menjaga diri sendiri pada saat-saat kritis ini. Satu-satunya pilihan terbaik adalah surga bawah tanah yang telah disediakan Lady Rosemary Delucas sebagai the last sanctuary bagi mereka, barangkali orang-orang terakhir di Chestertown, di Everopa, di seluruh dunia! Pilihan lainnya adalah mati.
"Grace!" Dalam galaunya di tengah-tengah kepanikan ratusan orang yang sedang mengantre agar bisa masuk ke dalam bunker, Rani lega melihat gadis muridnya itu selamat!
"Nona Rani, aku kembali. Sayang, Papa Orion..." didekapnya Sang Guru sementara tangisnya pecah.
Ia tak peduli jika mamanya juga masih berada di dekat sana, menunggunya. Alih-alih senang pada kedatangan Grace, Sang Bangsawati malah memandang geram. Mengapa anakku sendiri kembali, tetapi tidak datang kepadaku, melainkan kepada perebut suamiku? Kurasa, dengan tidak adanya Orion di sini, aku sekarang lebih leluasa... Lady Rose tersenyum di kejauhan, untuk...
Rani sama sekali tak menolak Sang Murid. "Grace, syukurlah! Ada apa dengan suamiku?" Rani merasa ada tikaman kecemasan pada jantungnya.
"Ia tak apa-apa!"
Kalimat Grace itu bagai air dingin, seketika mengguyur Rani dengan harapan baru. "Astaga! Syukurlah. Lalu, mengapa ia tak kembali denganmu?"
"Ia sedang berhadapan dengan Lazarus! Mereka tak bisa menghentikannya. Lab Barn musnah, dan mungkin semua di sekitarnya terkontaminasi! " Grace meraung, "Aku tak yakin Papa Orion akan selamat. Ia mungkin selamat berkali-kali, akan tetapi entahlah, kali ini..."Â
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H