Mohon tunggu...
Wiselovehope aka Poetvocator
Wiselovehope aka Poetvocator Mohon Tunggu... Novelis - Desainer Komvis dan Penulis Lepas. Unik, orisinal, menulis dari hati.

aka Julianti D. ~ Instagram: @wiselovehope Https://linktr.ee/wiselovehope Https://pimedia.id/wiselovehope Email: wiselovehope@gmail.com Akun Opinia: Julianti Dewi (Wiselovehope) Akun Tiktok: juliantiwiselovehope Akun X:@wiselovehope Akun Threads: @wiselovehope

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Literatur Vulgar, Selera Pasar?

11 Juni 2023   09:59 Diperbarui: 12 Juni 2023   08:24 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa ada kaitan antara literatur vulgar dengan ikut selera pasar?

Beberapa penulis zaman now berpendapat jika mau eksis bin laris, kita sebagai penulis harus bisa menulis (fiksi khususnya) dengan ikut selera pasar.

Apakah benar?

Ada pula yang langsung menyambar memberi pembenaran, selera pasar masa kini dalam aplikasi khususnya adalah yang vulgar. Judul yang clickbait dan menggoda, dengan kata ranjang, janda, gairah, nakal dan sebagainya. Model di foto sampul atau cover pakai cewek cantik belahan persik dan pria pamer dada atletis dan sebagainya.

Apakah itu benar juga?

Sebenarnya kata vulgar yang kini diindonesiakan belum tentu atau tidak langsung dari sananya berarti kasar. Vulgar dalam Bahasa Inggris aslinya/awalnya bermakna asli polos, plain, juga bisa berarti kasar, rough, crude.

Kata vulgar juga ada dalam beberapa nama spesies hewan dan tumbuhan dalam Bahasa Latin, biasanya dinamai dengan nama spesies plus kata vulgaris, artinya spesies yang paling basic, dasar,  biasa, umum.

Nah, mengapa kini bisa turun kasta menjadi kata yang bermakna gramatikal atau peyoratif?

Merujuk pada Kamus Oxford edisi Macintosh pada bagian tesaurus, kata vulgar dahulunya digunakan juga dalam Bahasa Inggris sebagai sebuah/salah satu kata harfiah (literal) denotatif untuk menggambarkan sesuatu yang berhubungan dengan rakyat jelata (dibandingkan dengan ningrat). Kata ini sebenarnya bukan kata yang berbahaya atau kontroversial (seperti maknanya di masa kini) melainkan merujuk sesuatu yang bermutu rendah (bahan baku, kain, dsb.) atau orang yang mungkin masih (maaf) seperti suku asli zaman dahulu kala di Eropa yang belum terjamah teknologi, terpelajar, atau berpendidikan dan kaya (pada masa itu). Apa contohnya? Vulgar clothing, vulgar decorations, vulgar taste. Nah, lama-kelamaan entah bagaimana malah turun derajat menjadi kata yang menggambarkan sesuatu yang rendah.

Karena itu, kata-kata bahasa apa saja masa kini bisa dikatakan vulgar apabila mengandung makna tersebut. Apa saja yang termasuk kata vulgar? Menurut opini penulis, kata-kata yang membetik arti terlalu polos atau jujur. Bukan naif atau kekanak-kanakan ya, melainkan terlalu to-the-point alias tidak mempertimbangkan arti/makna, efek timbal balik/feedback serta segi kepantasan dipergunakan dalam sebuah kalimat.

Sering digunakan dalam fiksi romantis dewasa baik dalam subgenre erotika maupun subgenre pornoliterasi alias pornlit, kata-kata yang menggambarkan (misalnya) hubungan intim antara manusia bisa jadi vulgar, bisa jadi tidak. Lho, di mana bedanya?

Kata-kata atau adegan romantis tidak harus vulgar. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara erotika dan pornlit. Erotika diusahakan sebisa mungkin untuk tidak vulgar, setidaknya ada usaha keras penulis untuk menghindari pemakaian kata yang terlalu eksplisit.

Dalam pornlit, kebanyakan penulis tidak mementingkan keindahan dan tata bahasa. Hanya bersifat penggalangan klik atau clickbait, asal banyak yang baca, viral, kontroversial. Karena itulah banyak digunakan kata vulgar. Bahkan kadang secara sengaja. Karena itulah jenis subgenre ini sangat tidak dianjurkan bagi pembaca yang belum mampu menganggapnya hanya sebagai hiburan belaka atau penggugah gairah intimasi dengan pasangan yang sah.

Dalam erotika, tentu saja adegan khusus untuk dewasa ada, tak bisa dihindari atau ditiadakan begitu saja. Akan tetapi semua kata-katanya sudah dipertimbangkan secara matang dan lebih artistik. Lebih tidak menimbulkan konotasi negatif. Bukan berarti erotika bebas dibaca semua usia. Tetap diperlukan kebijaksanaan, pertimbangan dan tentu pembatasan pembaca.

Kesimpulan: Selera pasar mungkin luar biasa besar terhadap kata vulgar, akan tetapi tak harus kemudian menulis subgenre pornlit kemudian menggolongkannya sebagai erotika. Itu adalah sebuah kesalahkaprahan besar, apalagi menyamakan semua penulis erotika sebagai penulis pornlit. Penulis romansa dewasa tidaklah harus menggunakan kata vulgar, malah sebaiknya dihindari. Mengapa? Akan dibahas lain kali.

Genre romantis tak harus erotis atau vulgar. Kita sebagai penulis harus belajar lebih banyak mengolah kata dan kalimat sehingga tercipta karya yang tidak hanya vulgar akan tetapi masih layak baca sesuai tingkat usia. Semoga dengan semakin sadarnya kita mengurangi pemakaian kata-kata vulgar, selera pembaca bisa ikut berubah kembali ke arah literatur yang tidak hanya ikut-ikutan dan kelak bisa menjerumuskan, melainkan jadi lebih edukatif dan mencerdaskan.

Semoga bermanfaat dan salam literasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun