Kritik saran untuk literatur atau karya tulis apapun sebenarnya adalah hal yang sangat wajar. Sama seperti bidang kehidupan lainnya, tentunya apa saja yang kita hasilkan akan dibaca dan dinikmati oleh orang lain. Literatur yang sudah luar biasa dikenal saja terkadang masih menyimpan kesalahan, jadi mengapa kita tak boleh ikut serta memperbaikinya?
Keberadaan para pembaca dan sesama penulis yang meluangkan waktu memberi kritik dan saran sebaiknya dihargai karena saran mereka bisa jadi sangat penting dan diperlukan. Seperti kata pepatah asing, Two Heads are Better than One. Sayangnya, masih banyak penulis dan pembaca yang sama-sama anti kritik atau malah berusaha memberi kritik namun tidak pada tempatnya.
Beberapa contoh sikap anti kritik  dari para penulis:
1. Tidak ingin menerima kritik karena merasa dirinya sudah cukup wah atau sempurna. Misalnya sudah memiliki karya best seller di toko buku ternama, menjadi penulis profesional taraf nasional atau internasional. Atau penulis platform baca masa kini (novel online) yang karyanya selalu diangkat editor in-house ke beranda. Ketika ada pembaca melakukan kritik saran terhadap karyanya entah lewat japri atau kolom komentar, lalu tidak menanggapi atau bahkan membalas dengan dingin, "Siapa 'sih Anda?" "Anda tahu apa tentang kepenulisan?" "Ini cerita saya, mengapa Anda atur-atur? Suka-suka imajinasi saya dong!" dan sebagainya.
Tidak ada gading yang tak retak. Sebagai penulis, berapapun jumlah buku dan kisah yang sudah diterbitkan, berapapun penghasilan yang sudah Anda dapatkan, Anda dan saya adalah pembelajar-pembelajar hingga akhir hayat yang takkan pernah bisa jadi sempurna tanpa bantuan siapa-siapa. Saatnya untuk merendahkan diri dan berbesar hati, introspeksi dan mau belajar dari kesalahan.
2. Tidak ingin menerima kritik karena kurang peduli pada mutu kepenulisan pribadinya. Misalnya jika terjadi tipo, plot hole, masalah dalam alur dan sebagainya, malah tidak mau tahu dan tidak ingin memperbaiki dengan berbagai alasan. "Tidak sempat, ah!" "Tak ada masalah, 'toh pembaca saya suka dan setuju saja!" "Biarkan editor yang memperbaiki! Itu 'kan tugasnya!" dan sebagainya.
Saatnya untuk membaca karya yang sudah lebih dahulu ada untuk belajar sekaligus memperbaiki diri. Mengapa harus gengsi? Tugas editor sebenarnya bukan hanya sebagai tukang membetulkan saja, melainkan pejuang garis akhir di mana karya kita seharusnya sudah matang atau final dulu di tangan kita sendiri. Jadi hendaklah kita tak hanya menyerahkan naskah mentah begitu saja. Jadilah editor pertama bagi karya kita sendiri.
1. Mengkritik karena kisah atau isi literatur yang dibaca tidak sesuai dengan keinginan pribadi. Sebenarnya jika kita kurang suka atau kurang setuju pada isi dan amanat sebuah literatur, cara untuk mengkritiknya bukan dengan menyerang si penulis, melainkan mencoba membuat sendiri kisah atau literatur sebagai sebuah tanggapan. Itu juga jika pembaca cukup ngeh dan ingin belajar menulis. Jika tidak, pembaca dipersilakan mencari karya penulis lain yang dianggap lebih sesuai dengan selera pribadi masing-masing.
2. Mengkritik dengan bahasa yang kurang elok atau kurang sedap dibaca dan didengar. Kebanyakan pembaca terlalu terbawa emosi subjektif sehingga mengabaikan tata krama. Sebaiknya pembaca melakukan entah japri/email ke penulis dengan bahasa yang elegan dan sopan serta menyampaikan kritik dan saran secara baik. Boleh juga langsung saja pada kolom komentar, akan tetapi dengan bahasa yang teratur, baik dan benar serta bermanfaat sebagai ilmu pengetahuan bagi sesama pembaca.
Kritik dan saran yang elegan dan membangun akan sangat diapresiasi tinggi oleh para penulis serta membantu meningkatkan mutu kepenulisan dan literatur bagi semua pembaca dan penulis itu sendiri di masa yang akan datang.
Semoga bermanfaat dan salam literasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H