Mohon tunggu...
Wiselovehope aka Poetvocator
Wiselovehope aka Poetvocator Mohon Tunggu... Novelis - Desainer Komvis dan Penulis Lepas. Unik, orisinal, menulis dari hati.

aka Julianti D. ~ Instagram: @wiselovehope Https://linktr.ee/wiselovehope Https://pimedia.id/wiselovehope Email: wiselovehope@gmail.com Akun Opinia: Julianti Dewi (Wiselovehope) Akun Tiktok: juliantiwiselovehope Akun X:@wiselovehope Akun Threads: @wiselovehope

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Cinta Terakhir Sang Bangsawan (Novel Romansa Thriller Apocalypse Episode 94)

9 Mei 2023   15:19 Diperbarui: 9 Mei 2023   15:45 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Tolong aku! Lapar... Haus... Sesak..."

Leon dan Grace sebenarnya tahu lebih baik segera menyelamatkan diri sekarang juga daripada sok jadi jagoan. Tetap saja kekerasan hati sang anak sulung membuat kakinya teguh bertahan. Ia tak ingin jadi pengecut yang pergi begitu saja tanpa perlawanan!

"Kami tak punya apa-apa yang kau inginkan, Sir! Pergi dari sini, atau kau kami tusuk! Kami takkan berbaik hati..." Di luar dugaan, Leon merogoh saku jaket adiknya dan menyambar pisau lipat Grace. Diacungkannya di depan dada seolah-olah mencoba mengancam sosok korban reanimasi, pria tua malang yang segera mencapai mereka dalam jarak beberapa meter lagi.

"Leon, ayo kita lari saja! This is not gonna work...we will die..." Grace menatap adegan di hadapannya dengan rasa ngeri.

"Diam saja kau, Dik! I know, at least I have to try... I don't want to run like a chicken!"

Zombie lansia itu semakin mendekat. Kelihatannya masih 'sadar' dan masih sangat mirip dengan manusia hidup kecuali bagian kulit wajah nan teramat pucat. "Anak-anak... tolong, aku... belum mau, mati..."

Sedetik lagi tangan-tangan si kakek akan mencapai ujung pisau Leon. Detik berikutnya semua mendadak berubah! Sesuatu menjatuhkannya, rubuh menghantam aspal.

Sebutir timah panas baru saja menembus belakang batok kepalanya.

"Astaga, Kak, nyaris saja!" tangis Grace pecah. Ia spontan menabrak tubuh kakaknya, memeluk Leon yang tak mampu berkata-kata. Pisau lipat di tangannya terjatuh ke jalan menyusul si kakek yang kini sudah 'dibersihkan'.

"Kalian tak apa-apa?" dari kejauhan terdengar suara lantang Orion. Di tangannya ada hunting rifle milik Magdalene. Diturunkannya sambil berlari mendatangi.

"Astaga! Kalian datang untuk kami!" Grace menengadah dan tangisnya kembali meledak, "Maafkan kami, Papa Orion! Kami tak bisa berpikir panjang, sungguh sangat ceroboh! Kami sangat takut!"

Leon yang biasanya membandel kali ini turut meneteskan air mata, tubuhnya gemetaran menahan emosi.

Ternyata Orion, Rani dan Lady Magdalene dari kejauhan telah melihat apa yang terjadi. Berboncengan bertiga dari mansion Brighton, mereka berhasil menemukan kedua remaja Delucas namun tak langsung mendekat. Orion sadar kedua anak itu 'perlu diberi sedikit pelajaran' agar lain kali lebih berhati-hati!

Tak lama, kelimanya berkumpul kembali dan saling berpelukan melepaskan semua kelegaan sekaligus rasa penyesalan.

"Kalian baik-baik saja? Maaf lama menunggu, kami sempat mengalami beberapa kesulitan di kota dan di mansion Brighton!" ungkap Rani lega.

"Syukurlah kalian tak apa-apa! Kalian tak bersalah, Ini semua gara-gara kelengahanku!" Mag juga menangis haru, merasa gagal dalam mengawasi.

"Tidak, Ma'am! Anda tak bersalah! Kami yang nakal, sudah berani pergi diam-diam dari mansion Brighton! Kami sungguh bodoh dan kurang sabaran! Kumohon, Papa Orion, jangan laporkan perbuatan kami kepada mama, ya!" Leon memohon, sungguh tak ingin lagi mengalami kejadian seperti tadi, "We'll never repeat that again, we promise!"

"Sudahlah, kuperiksa dulu sepeda motormu, Leon, semoga bisa jalan lagi..." Orion tak ingin mereka berlama-lama di sana, "Si kakek malang ini memang sudah 'dibersihkan', tetapi kita tak tahu apakah 'rekan-rekannya' akan menyusul kita atau tidak. Sekitar mansion Brighton sudah tak lagi aman!"

"Ya, nyaris dikuasai para makhluk mengerikan itu! Sayang sekali..." Mag merinding mengingat pengalaman pertamanya.

"Sudahlah, Ma. Nanti kita bisa kembali untuk membersihkan semuanya, jangan khawatir, semua pintu gerbang terkunci, mereka takkan bisa masuk ke dalam!" Orion berdiri sambil menggelengkan kepala. Ternyata sepeda motor sport Leon belum dapat diperbaiki. "Leon, Grace, kita tuntun saja motormu ini kembali ke pintu rahasia, hanya sekitar sepuluh menit perjalanan dari sini, bukan? Jangan khawatir, aku, mama dan Rani mendampingi kalian!"

Orion menjemput sepeda motornya sendiri, lalu kembali ke rombongan. Berlima mereka berjalan perlahan-lahan, sesekali menoleh untuk memastikan aman dari 'susulan' para zombie.

***

Lady Rosemary tak banyak lagi bicara dengan Kenneth setelah malam panjang yang melelahkan itu. Listrik main mansion belum juga kembali dinyalakan. Ia merasa kesal sendiri, apalagi harus sarapan di pantry dalam kesendirian.

Di mana gerangan semua orang? Anak-anak, Orion, Maharani? Semoga mereka hanya ketiduran dan tak coba-coba melakukan hal yang aneh! Rose belum dapat bernapas lega sebelum semua masalah selesai, "Huh, sayangnya aku tak dapat berbagi masalah ini kepada keluargaku sendiri! Yang bisa membantuku sekarang hanya Kenneth!"

Sang kepala pelayan Henry Westwood datang mendekat dan membungkuk hormat, "Maaf mengganggu, Lady Rose, saya datang untuk melapor. Listrik di kompleks kemungkinan akan menyala normal kembali nanti siang, demikian informasi dari dokter Vanderfield di Lab Barn. Sayangnya, persediaan bahan bakar kita menipis. Kita perlu segera membentuk tim pencari."

Lady Rose spontan berdiri. "Semudah itu kita keluar dari sini dalam keadaan seperti ini? Memuakkan! Namun baiklah, kita coba nanti! Sehabis sarapan, aku masih ingin beristirahat sebentar! Henry, tolong bantu aku, awasi kegiatan harian kamp tamu kita! Makan pagi dan sebagainya. Beri mereka jatah logistik secukupnya, ingat, tidak usah terlalu boros!"

"Kamp tamu kita, rombongan Reverend Edward Bennet? Oh, tentu saja! Saya mohon diri!"

Mentari beranjak semakin tinggi di langit cerah kompleks Chestertown. Sesosok tubuh berlumuran tanah, tak terpantau apapun dan siapapun, tetiba menyembul dari tanah berumput perbatasan antara kamp Edward Bennet dan kompleks utama Delucas. Selama beberapa jam ia bersusah payah menggali 'jalan' dengan tangannya sendiri. Bagaikan seekor tikus tanah, ia berhasil mencakar jalan keluar tanpa diketahui siapa-siapa.

Sekarang, bagaimana menyampaikan ini kepada Orion Brighton sebelum aku...

Beberapa pegawai peternakan atau perkebunan tampak mendekat, dari kejauhan sosok misterius itu tahu jika ia diam saja, mereka akan memergokinya.

Tidak, aku tak dapat menitipkan ini kepada mereka! Mereka pasti akan menyampaikan kepada 'istrinya', Rosemary Delucas!

Memaksa dirinya yang sekarat, ia berjalan terseok-seok menuju kumpulan bangunan tertepi yang menurutnya jauh lebih aman. Masuk ke sebuah tempat serupa gudang gelap yang penuh dengan kendaraan terparkir, ditutupnya pintu rapat-rapat.

Bersembunyi dulu, beristirahat sejenak, pulihkan tenaga dulu, lalu pikirkan langkah selanjutnya...

Ia belum sadar, dalam beberapa saat lagi, pintu rahasia di ujung ruangan lainnya akan segera terbuka! 

(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun