"Oh, hai, masuklah, Nona Yemima."
"Aduh, Fat! Jangan panggil aku Nona, kita 'kan sudah lama sekali berteman."
Yemima duduk di sisi anak yatim-piatu yang hingga kini masih menjadi sahabatnya itu. Usia yang tak jauh beda membuat mereka akrab. Meskipun demikian, Fatima belakangan ini jarang curhat pada Yemima.
"Kamu pasti sedang sedih." Yemima tahu pasti walau Fatima baru saja menyeka air mata. Bantalnya yang agak basah menunjukkan jika Fatima baru saja menangis, "Jangan khawatir, jika ada yang ingin kau ceritakan..."
"Aku baik-baik saja, Ye. Sungguh." Fatima berusaha tersenyum sambil merapikan hijabnya.
"Sudah buka puasa? Sudah ibadah tarawih? Beberapa hari lagi liburan tiba. Kita bisa main sepuasnya, juga merayakan Lebaran bersama! Ibuku juga gemar memasak opor dan ketupat, lho! Nanti kita buat bersama-sama, ya!" Yemima sejenak lupa jika hari raya yang dulu selalu dinanti kini menorehkan duka kepada sahabatnya yang terpaksa melanjutkan hidup sebatang kara, "Sungguh, kau  baik-baik saja? Kita belajar bersama di kamarku, yuk? Atau main bersama! Mau bermalam di kamarku juga boleh, seperti dulu saat kita masih kecil! Pasti seru, daripada kamu tidur sendirian di kamar ini." ia berusaha meriangkan suasana.
"Su-su-sudah Ye. Terima kasih. Kurasa aku hanya mengantuk. Jika kau tak keberatan, aku pergi tidur dulu ya. Aku harus bangun pagi-pagi sekali untuk sahur dan salat. Besok kita masih masuk sekolah,'kan?"
Yemima menangguk, Fatima memang terlihat letih. "Baiklah. Besok kita berangkat sama-sama, ya? Selamat malam." ditepuknya sejenak bahu sahabatnya untuk memberi kekuatan.
***
"Fatima ke mana 'ya?" Yemima tadi berangkat ke sekolah sendirian. Pak Agung, sopir mereka pengganti almarhum Pak Setyo ayah Fatima, tidak berhasil menemukan Fatima. Hampir terlambat, terpaksa mereka berangkat hanya berdua saja. Bu Hartono tak urung merasa heran dengan gadis kecil yang sudah dianggapnya seperti putri sendiri. Sepanjang pagi hingga siang ia berusaha mencari ke sekitar kompleks elit perumahan mereka.