Mohon tunggu...
Wiselovehope
Wiselovehope Mohon Tunggu... Novelis - Desainer Komvis dan Penulis Lepas. Unik, orisinal, menulis dari hati.

aka Julianti D. ~ Instagram: @wiselovehope Https://linktr.ee/wiselovehope Https://pimedia.id/wiselovehope Email: wiselovehope@gmail.com Akun Opinia: Julianti Dewi (Wiselovehope) Akun Tiktok: juliantiwiselovehope Akun X:@wiselovehope Akun Threads: @wiselovehope

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Cinta Terakhir Sang Bangsawan (Novel Romansa Thriller Apocalypse Episode 65)

7 Maret 2023   11:58 Diperbarui: 8 Maret 2023   06:30 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi desain pribadi

Tengah malam itu suasana perbukitan Chestertown sangat sepi, gelap dan senyap. Tetiba ketiadaan suara dan cahaya itu lenyap bersamaan dengan suara gemerisik langkah-langkah kaki manusia dan puluhan sorot senter.

Beberapa staf pria bersenjata bersiaga di sekitar kompleks Delucas. Sebagian besar adalah 'bala tentara' alias petugas yang memang dilatih untuk menjaga keamanan sedari kompleks keluarga bangsawan itu berdiri. Sekarang, tak hanya petugas, pegawai peternakan, perkebunan dan pabrik pun dipersenjatai dengan semua alat yang tersedia, baik senjata pukul, tajam hingga api.

Memimpin di depan, Lady Rosemary Delucas bersama staf kesehatan kepercayaannya dokter Kenneth Vanderfield. Si dokter siaga penuh berbaju hazmat, namun si wanita penguasa hanya berjaket tebal panjang dan bermasker. Ia yakin, saat ini dirinya masih tak begitu membutuhkan segala protokol kesehatan itu. 

"Jangan khawatirkan kesehatanku. Si pengacau keamanan ini bukan zombie atau suspek Octagon, walau kita tak tahu ia sudah menjadi carrier atau tidak! Akan kujaga jarak dengannya. Ia takkan bisa mendekat dan menyentuhku seujung jaripun!" Demikian Rose berkata kepada Kenneth yang sedari tadi mewanti-wantinya.

"Oh I see. Jadi, kau mengenalnya?"

"Ya, lebih tepatnya, tak terlalu karib... namun ya, itu Edward Bennet!"

"Nama yang asing. Siapa dia?"

Rose tak ingin menjawab pertanyaan itu. Ia hanya memberi isyarat menempelkan telunjuk di depan maskernya, menyuruh Kenneth diam. Lalu tangan lainnya memberi isyarat berhenti kepada semua orang. Rose tak ingin dialognya kelak didengarkan oleh siapapun. Dipastikannya semua pengikut beserta Kenneth takkan bisa mengetahui isi pembicaraan empat matanya.

Mereka hampir mencapai perbatasan atau pintu gerbang utama, di mana seseorang dengan kendaraannya, sebuah mobil 4x4 SUV sudah menunggu. Lampunya dibiarkan menyala.

Dari balik pagar tinggi, Rose bisa melihat sosok tak diundang itu mengenakan busana hitam-hitam, jubah dan maskernya ketat menutupi.

"Mau apa Anda datang kemari, 'Reverend' Edward Bennet?"

Pria itu tak langsung menyahut. Ia erat menggenggam sesuatu di dalam saku jubahnya. Rose menyipitkan mata, Sepucuk senjata? Sepertinya ia takkan segan-segan mengeluarkan dan menggunakan benda itu jika merasa terdesak. Ia turut bersiaga atas segala kemungkinan.

"Selamat dini hari, Lady Rosemary Delucas. Syukurlah, ternyata Tuhan masih mengizinkan pertemuan kita kembali. Maafkan semua kejutanku di tengah krisis akhir dunia ini! Hanya ingin bertanya, mengapa Anda belum memberi respons baik pada permintaan mudah dan tak seberapa artinya bagi orang sehebat Anda, dari hamba Tuhan yang miskin dan sederhana ini?"

"Cih!" cibir Rose, "Kita memiliki perjanjian bermaterai di atas kertas. Dan ingat," Rose mendekat namun masih memberi jarak beberapa meter dari pagar, lalu berkata sepelan mungkin hingga hanya Edward yang bisa mendengarnya, "Anda bukan orang yang bisa memerasku semudah yang Anda kira. Aku bukan tipe wanita lemah dan pengecut yang bisa dipermainkan pendeta palsu sepertimu, camkan itu!"

Edward hampir tergelak, lalu membalas dengan suara yang sama pelannya, "Keberatan dengan permintaan sederhanaku? Aku tinggal membuka semua tentang yang kita tuliskan, agar seluruh anggota keluargamu tahu. Lalu Anda akan ditinggalkan oleh 'dia', well, apakah itu hal yang Anda inginkan?"

Rose menggeram. Rasanya ingin dikeluarkannya Magnum yang juga ia genggam erat dalam saku jaket, langsung menghadiahi pendeta palsu itu sebutir timah panas sebelum ia menyadarinya. Tanpa suara, tanpa kehebohan, karena senjata kecil itu sudah diberi peredam. Namun CCTV-nya sendiri akan merekam, lalu ia juga akan ditangkap yang berwenang karena telah membunuh 'orang tak berdosa' yang bukan suspek Octagon! Jadi, Edward tak mungkin ia bisa 'sentuh' setidaknya di bawah pandangan mata banyak saksi dini hari ini.

Rose menggeram sambil menggigit bibir, "Katakan saja apa maumu..."

"Baiklah! 24 jam lagi, akan kubawa keluarga dan orang-orangku dari Chestertown untuk menumpang hingga krisis berlalu di kompleks Anda. Well, anggap saja, Anda memberikan suaka dan berkat bagi pendeta yang telah menikahkan Anda!" Edward berseru cukup keras seolah ingin semua saksi mata mendengar.

"Huh, berbagi denganmu?" Rose yang sedari awal tak ingin ada orang asing masuk, serta-merta menolak, "Tidak! Aku tak ingin ada kluster lokal Octagon-33 di sini! Kalian pergi saja ke pedalaman perbukitan dan berkemah di sana! Tak ada tempat untuk kalian semua, maaf, aku tak ingin tragedi seperti kluster Hexa-19 terjadi di sini!"

Rose berbalik hendak pergi, namun Edward masih belum puas berbicara, "Lady Rose, no need to worry, just don't make an unwise decision too fast! Pikirkan dulu baik-baik! 24 jam lagi aku akan datang, waktunya masih lama sekali! Ingat, nasib pernikahan Anda ada di tanganku! Selamat dini hari, God bless!" Edward melambaikan tangan, lalu kembali naik ke mobilnya.

Pria itu berlalu santai, pergi begitu saja, menghilang secepat ia datang.

***

Orion tak bisa tidur lagi malam itu. Suasana lama hening kembali setelah beberapa menit bunyi sirene dan pengumuman dari speaker berakhir. Bukannya tenang, kesunyian yang menyusul malah jauh lebih mencekam.

Apa yang terjadi di luar sana? Apakah semua staf Lab Barn akan segera kembali?

Tetiba pemuda itu mendapat ide. Baterai ponselnya tinggal sedikit, namun ia ingin menyalakan dan menghubungi Maharani. Begitu ponsel aktif, langsung masuk puluhan chat dari Rose. Tentu saja Orion tak berminat membuka, apalagi membalasnya.

Angkat, Rani. Kau ada di mana? Telepon tak diangkat, chat tak dibalas.

Tadinya Orion ingin mematikan lagi, namun sekonyong-konyong ponselnya bergetar. Panggilan masuk dari Rani!

"Orion, kau baik-baik saja?"

"Ya! Aku di sini! Kau baik-baik juga?" Pemuda itu hampir menangis lega.

"Syukurlah. Yes, I'm fine. Besok aku akan ke sana. Aku belum caranya, namun akan kucoba. Luvya. Bye for now."

Rani langsung mematikan ponsel. Nada suaranya tadi tak terlalu mesra, apakah ia sedang bersama orang-orang? Siapa saja dan apa yang sedang terjadi? Namun Orion tak peduli. Baginya mengetahui Rani baik-baik saja sudah lebih dari cukup. Orion sedang menimang ponsel, tersenyum sendiri ketika tiba-tiba...

"Aaaaaaargh!"

Erangan Russell, tetapi jauh lebih keras! Apa yang terjadi di sebelah?

(bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun