Heboh kembali soal flexing alias pamer harta ala anak pejabat dan selebriti.
Sebagai penulis, kadang kita juga tergoda dengan flexing seperti ini. Pernahkah melihat penulis-penulis di media sosial pribadi mereka memamerkan jumlah pendapatan dan jumlah kata serta aneka gimmick yang mereka peroleh dari platform atau tempat mereka menulis sebagai imbalan atau gaji?
Piala, sertifikat, hadiah-hadiah serta apa saja yang diperoleh. Jumlah kata yang sanggup ditulis dalam sehari, serta masih banyak lagi.
Sebenarnya bukan semua itu yang penting untuk dipamerkan atau dibanggakan sebagai penulis, tak peduli  seberapa pendapatan atau seberapa populernya dirimu (banyak pelanggan, pembaca, gelar ala logam mulia dan lain-lain) melainkan banggalah pada:
1. Buku atau karya tulis apa saja yang sudah kita hasilkan? Bukan jumlah katanya, banyaknya judul, seberapa besar jumlah pembacanya, melainkan kualitasnya.
Berkualitas bukan berarti sudah 100 persen bagus sempurna dan laris manis masuk beranda, melainkan layak baca sesuai usia, minim tipo, memiliki amanat dan makna serta nilai edukasi.
2. Apakah sudah menuliskan yang terbaik dari hati, bukan karena ikut-ikutan apalagi hasil plagiasi dan peniruan secara tidak bertanggung jawab?
3. Apakah keluarga kita bisa menerima dan kelak bisa turut bangga pada apa yang kita tuliskan?
Flexing ala penulis beda tipis saja antara sombong/tinggi hati dengan maksud memotivasi. Bagaimana jika kita memang tulus ingin memotivasi sesama penulis? Apa yang bisa kita lakukan?
1. Berbagi pengalaman yang pernah kita alami sendiri, baik yang baik maupun yang kurang baik untuk dipetik hikmahnya. Mau ditemui dan berbagi kapan saja, tidak sembunyi-sembunyi atau menggunakan identitas kurang jelas.