Sungguh, seumur hidupnya Rani belum pernah merasa seperti yang kini ia rasakan. Di atas ranjang itu, berdua hanya dengan pengantin pria yang ia cinta dan mencintainya, mereka perlahan-lahan mulai 'berkenalan' satu sama lain. Tidak terburu-buru, nyaris seperti dua anak yang sedang belajar sesuatu yang baru.
Mata cokelat sipit Orion tajam dan dalam, tak jemu-jemu memperhatikan detail tubuh Rani. Jauh berbeda dengan wanita-wanita Everopa baik Rosemary maupun yang ia tonton di televisi dan film-film. Kulitnya kuning langsat bersinar, begitu lembut bagai kelopak bunga baru merekah. Aroma tubuhnya pun berbeda, tak menyiratkan parfum-parfum mewah melainkan wewangian Evernesia dari pelembut raga yang Rani setia pakai sehari-hari.
Kini nyata bagi Orion, bukan hanya imajinasi seorang seniman yang ia nikmati dalam lukisan maupun ukiran belaka.Â
"You have a very beautiful body and soul. Sungguh, mulai saat ini tak ada yang lain bagiku selain dirimu, Rani. Izinkan aku memilikimu untuk selamanya. Dan tentu saja, diriku juga hanya untukmu."
Sepasang tangan kuat lembut Orion membelainya. "Orion..." Rani nyaris terpekik. Semburat jingga di kedua pipinya membuat suaminya tambah bersemangat saja melakukan semua, bahkan menambah intensitasnya. Rani merasa aliran darahnya begitu deras mengalir dalam setiap pembuluhnya. Matanya terpejam dan terbuka seakan tak percaya jika ini semua betul-betul nyata terjadi. Ia ingin berteriak sejadi-jadinya, namun bibir tipis Orion dengan manis membungkamnya. Tikaman rasa pedih sekaligus nikmat tak terperi berkali-kali ia rasakan. Rani terpaku gemas menatap tanpa daya. Orion tersenyum begitu manis sekaligus nakal. Tubuhnya kurus, namun atletis dan berisi. Kulitnya putih bersih, begitu hipnotik. Jengah, gerah, sungguh, gadis polos itu tak mampu mendeskripsikan. Detail yang ia pandang begitu indah, sungguh jauh berbeda dari imajinasinya selama ini.
"Jangan malu-malu, Sayang, kita sudah betul-betul sah. Lakukan semua yang kau inginkan."
"Kau saja yang mulai, aku..." Rani ingin berpaling tapi tak bisa, merasa kelu.
"Tak perlu ragu, I'm yours. And I really want to know, how deep is your love. So please, let me in."
Tetiba Orion mengambil kedua tangan Rani yang lentik dan lembut, yang belum pernah menjamah siapapun sebelumnya. Diperkenalkannya gadis itu ke dunianya sendiri, sebentuk buah terlarang yang belum juga ia serahkan kepada Rosemary yang pernah juga mengundangnya untuk saling menikmati.
Rani sudah betul-betul mabuk asmara. Seluruh sisa gaunnya perlahan lepas, jatuh dari pinggir ranjang. Tubuhnya yang kini rentan dan peka hanya bisa pasrah dalam pelukan Orion yang panas memanja. Detik-detik berikut takkan pernah terlupa.
"Aku takut..." bisik Rani dalam gairahnya, apalagi kali ini semua khayalan terlarang selama berhari-hari dalam beberapa detik akan menjelma nyata!
"Just take it easy. Kita coba. Aku akan berhati-hati. Percayalah kepadaku."
Gadis itu masih begitu lugu, namun beberapa saat kemudian, keluguan itu seakan pupus darinya.Â
Entah dua puluh menit, entah dua jam. Ritual suci itu entah sudah berapa kali terulang. Rani baru tahu jika ia bisa seliar ini. Orion pertama membuka jalan, yang Rani rasa begitu pedih pada awalnya. Namun seiring waktu, ia harus mengakui, mereka saling menginginkan hingga kepedihan pun berubah menjadi sensasi luar biasa. Bagaikan kembang api di malam tergelap, bukan hanya memercikkan nyala api, juga meletup-letup berulangkali dalam dirinya.
"Orion, is this just a dream or not? Karena aku tak pernah merasa seperti ini sebelumnya. "
Kelegaan luar biasa berkali-kali melingkupi keduanya bagaikan baru saja lepas dari bahaya besar. Saling berpelukan melepas lelah di atas ranjang yang sama, pasangan itu tak ingin terpisahkan lagi.
"Jadi, kita terus berada di sini untuk selamanya atau bagaimana?" Orion sedari tadi tersenyum tanpa henti. Ia suka sekali melihat Rani yang tersipu malu, berusaha menyembunyikan diri di balik selimut tebal yang ada.
"Belum pernah ada yang melihatku sepertimu. Bagaimanapun, aku sangat bersyukur bisa bersamamu. Hanya satu hal saja yang kucemaskan..." Rani menunduk, membenamkan diri di bahu pengantin prianya.
"Apa itu? Keluarga Delucas?" Orion membelai rambut hitam lembut Rani, menikmati aroma eksotis yang membuai.
"Ya, dan tidak. Dunia ini, semua yang bisa terjadi. Terlalu banyak yang kupikirkan. Bahkan kita belum sempat mengabari keluargaku di Evernesia."
"Kita pasti bisa ke sana suatu hari nanti. Percayalah, kau akan kembali ke tanah airmu bersamaku. Banyak hal yang bisa kita lakukan bersama-sama."
"Sekarang, apakah lebih baik kita segera kembali ke rumah Leon dan Grace?"
Orion menggeram gemas dalam nada main-main, "Tidak, masih sangat banyak permainan dewasa yang belum kita coba!" Seringai nakal terbit di wajahnya, manis sekaligus begitu maskulin, "Sebelum kita pergi dari sini, mari kita saling menikmati 'jam madu' kita ini sepuasnya!"
Rani tak mampu menolak. Ia sudah betul-betul kecanduan pada tubuh dan jiwa indah seorang Orion Brighton.
Beberapa kali lagi mereka menyatu bagaikan dua kutub magnet, tarik menarik, begitu sukar dilepaskan.
Orion sadar, menikahi Rani membawa kebahagiaan sekaligus risiko besar di depan mereka berdua. Biarlah besok menjadi misteri besar yang akan mereka hadapi bersama.
***
Sementara jauh di kediaman Delucas, Leon di kamarnya masih belum bisa terlelap. Rasanya begitu gelisah, ia begitu mencemaskan Rani.
"Perasaan apa ini? Mengapa Nona Rani tadi tidur dalam posisi begitu aneh dan menutupi kepalanya dengan selimut, tidakkah itu akan menyebabkan ia sukar bernapas?"
Remaja itu bertekad untuk turun dan kembali ke paviliun nomor 17 sekali lagi. Ia harus memastikan tak terjadi apa-apa pada sang guru.
"Aku tak peduli walau mamaku akan marah besar bahkan membunuhku malam ini sekalipun! Harus diriku sendiri yang melakukan ini, Grace, Orion dan yang lain tak perlu tahu!"
Mengambil jaket yang tadi ia kenakan, Leon bergegas keluar dari kamarnya. Lega saat menyadari main mansion masih belum dijaga ketat seperti biasanya, remaja itu beringsut keluar dari pintu samping dan menghilang dalam kegelapan malam.
(Note: Tanpa mengurangi keasyikan membaca, kisah ini telah penulis beri sedikit perubahan dari edisi perdana tanpa mengurangi makna. Bersambung Senin, 27 Februari 2023.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H