Memilih untuk menikah namun secara sadar (memilih untuk) tidak memiliki anak alias Child Free, tentunya mesti didasari suatu pertimbangan matang.
Misalnya karena memiliki keterbatasan kesehatan (fisik dan mental) barangkali masih oke dan bisa diterima, meskipun tidak umum. Apa saja itu? Misalnya karena ketidaksuburan satu atau kedua pasangan suami istri. Atau karena istri/suami memiliki trauma masa lalu di mana dirinya tidak ingin mengulangi masa kecil yang kurang bahagia (misalnya broken home, inner child dan lain sebagainya).
Akan tetapi, bagaimana jika hanya berdasarkan pembenaran dari media sosial alias tren? Apalagi jika tren itu diluncurkan oleh influencer yang hanya mendulang pro dan kontra semata-mata demi laku karena kata-kata dan tingkahnya yang kontroversial?
Menjadi child free pada awalnya barangkali dianggap ringan dan enak. Bebas dari beberapa kewajiban sebagai orang tua seperti biaya kehamilan dan kelahiran anak, biaya membesarkan anak, biaya pendidikan dan lain-lainnya. Jika mau lebih gamblang lagi, akan lebih banyak quality time alias waktu bersama-sama, dalam hal ini keintiman suami istri yang biasanya sulit atau jarang bisa dimiliki karena kurangnya privasi sejak kehadiran anak.
Akan tetapi, jika dipikirkan lebih jauh lagi, sebenarnya tidak enak-enak amat jika tidak ada suara anak-anak mengisi sebuah pernikahan. Mengapa orang-orang bule (dalam Bahasa Inggris) memiliki idiom sweet burden, holy terror dan sebagainya sebagai ungkapan bagi anak? Burden, yang artinya beban, sering dipandang tidak enak dan memberatkan. Namun penambahan kata sweet membuatnya terasa manis. Beban nan manis, artinya walau berat di awal, tetap terasa manis dipikul. Terror mungkin arti denotasinya tidak enak sama sekali dan tentu mengganggu, namun secara humoris ditambahkan holy yang artinya suci. Artinya kurang lebih walau anak-anak bisa mengganggu, namun mereka memang 'titipan Tuhan' alias sosok 'suci' yang memberi warna dan makna indah bagi hidup.
Bayangkanlah pasangan orang tua baru yang belum lama dikaruniai bayi yang baru lahir. Meski bayi kadang menangis di malam hari, tentulah sang ibu dan ayah baru tidak akan merasa terganggu walau tubuh lelah sekalipun. Dengan sukacita mereka akan merawat si bayi hingga semakin besar. Betapa menyenangkan melihat anak-anak kita tumbuh dewasa bagaikan bibit bunga yang kita tanam dari biji hingga kelak mekar dengan indahnya.
Anak-anak kita barangkali hadir tidak seperti yang kita semula inginkan atau rencanakan. Misalnya ingin anak sepasang laki-laki dan perempuan, malah dikaruniai perempuan semua. Jangan buru-buru menyalahkan rencana Yang Maha Kuasa. Bersyukurlah saja, itu berarti kita memang diberi kemampuan untuk membesarkan gadis-gadis yang cantik dan sehat.
Anak-anak kita kadang nakal, tidak seperti anak tetangga yang alim dan penurut. Tidak apa-apa, setiap anak memiliki waktu dan masanya, malah bisa saja anak-anak yang tampak nakal itu sebenarnya aktif dan kreatif dengan jalan mereka sendiri.
Belum punya anak atau malah baru berencana menikah? Jangan keder dan baper dahulu. Jangan berprasangka negatif atau hanya belajar dari 'katanya' atau prediksi dan pengalaman orang-orang lain saja.
Pengalaman setiap pasangan dan keluarga berbeda-beda. Ada yang kelak berhasil bahagia, mungkin juga ada yang diberi jalan terjal. Akan tetapi percayalah, memiliki anak adalah kekhususan luar biasa dari Tuhan Yang Maha Esa. Karena itulah Bahasa Indonesia mengenal ungkapan buah hati karena anak adalah buah hati kedua orang tuanya.
Jangan memilih untuk child free hanya karena pandangan kekanak-kanakan dari pihak yang mengaku dewasa, menolak tua namun belum mampu berpikir dewasa.Â
Semoga bisa menjadi bahan renungan dan cukup bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H