Sudah entah berapa minggu atau bulan nyaring lato-lato terdengar di Kampung Anyar. Sepertinya November atau Desember, tapi aku tidak yakin!
Tadinya suara itu tidak seberapa menggangguku. Ah, 'kan hanya mainan anak-anak kecil! Demikian pikirku sambil menarik selimut. Percuma menutup telingaku, suaranya masih terdengar. Menggaung di relung hati, menggema di dasar jiwa.
Bahkan pada siang hari saat aku menjemur baju di loteng rumah, suara lato-lato masih terdengar hingga ke lantai empat. Huh, apa anak-anak itu tidak pernah sadar jika mainan bola plastik keras itu berisik?
Di malam hari pada akhir minggu, lebih banyak lagi lato-lato terdengar. Suaranya tek tek tek tek seperti ribuan alat musik kastanyet dibunyikan bersama, walaupun tanpa Tari Flamenko. Entah berapa anak-anak kecil sedang berlomba di luar sana. Dasar bocah!
Semoga saja mereka segera bubar. Hanya itu harapanku sambil berusaha tidur. Ada yang bilang jika suara lato-lato bisa jadi white noise. Huh, bagiku tetap saja black noise!
Tiba-tiba bangunan rumah kami bergetar hebat! Sekali, dua kali. Tembok kamar retak.
"Ada gempa?" panikku.
"Mak!" anak-anakku menyerbu masuk kamar, "Barusan di tivi ada berita musibah, kita harus mengungsi!"
"Apa? Gempa bumi? Atau jangan-jangan kalian hanya nonton film akhir pekan?"
"Bukan, Mak! Monster Lato-lato menyerbu Kota Jekardah! Sekarang satu sedang menyerbu kampung kita!" sahut Si Sulung.