Emily sedikit mengalami kesulitan pada awalnya karena ia tak begitu ingat jalan, tapi rute dapur Hannah yang pintunya tak pernah terkunci dan juga tak diketahui siapapun rasanya ia masih ingat.
Siang itu, tanpa sepengetahuan siapa-siapa, ia kembali ke bawah sana melalui anak tangga batu melingkar yang curam dan berlumut tebal. Begitu licin dan tanpa pegangan. Ia harus sangat berhati-hati. Dan karena tak ada jendela kecuali lubang-lubang kecil ventilasi jaman dahulu nan tinggi di dinding atas, Emily harus mengawasi setiap ujung anak tangga yang semakin ke bawah semakin gelap.
Dan begitu ia membuka pintu besi tua yang keras dan seret itu, menguar pula bau apek dan pengap. Kombinasi antara bau ruangan lama dan juga bau kotoran dan urin, sisa makanan basi serta entah apa lagi.
Emily bertekad takkan mundur bahkan oleh bau tersengak sekalipun! Maka ia terus berjalan. Kali ini ia membawa senter, jadi tak perlu khawatir bila tiba di lorong yang tak memiliki ventilasi atau lentera.
Ia asal saja berjalan, pasrah kemana kakinya melangkah. Tentunya dengan penuh kewaspadaan. Sesekali lewat tikus dan hewan lainnya, membuat gadis itu terkejut. Tapi ia sudah kepalang tanggung, jadi ditahannya saja rasa gelinya ketika sesekali ada gerombolan tikus lewat mencicit keras-keras. Hewan-hewan itu mungkin terkejut karena ada penghuni dunia atas yang turun mengusik dunia kelam mereka.
Emily tiba di pertigaan lorong, dan menemukan ada pintu ganda terbuka. Ia memutuskan untuk masuk.
Disorotkannya senternya kesana dan kesini, mencoba melihat apa yang ada di dalamnya.
Ternyata sebuah gudang penyimpanan barang tua dan antik. Berisi buku--buku rusak, gramofon tua, lemari rusak dan beberapa patung ksatria besi berketopong dan berbaju zirah seperti yang ada di film-film kolosal kerajaan abad pertengahan.
Sesuatu menarik perhatiannya.
Lukisan?
Potret sebuah keluarga dengan media kanvas besar dan campuran media cat minyak dan tempera. Mungkin keluarga besar Vagano. Seorang laki-laki berbusana formal dan wanita dalam gaun pengantin. Masih muda, tampaknya pengantin baru. Wajah si wanita cantik, tapi tak tampak bahagia. Ada ekspresi kesedihan di sana. Lalu ada orang ketiga di sisi si pengantin pria.
Ha, ha... Hannah? Tapi masih muda sekali. Jadi ia memang sudah ada di sini sejak belum ada Ocean dan Sky. Ini pasti ayah dan ibu mereka saat menikah.
Ekspresi Hannah Muda di sana juga tampak suram dan cemburu.
Cemburu?
Emily bingung sendiri dengan kesimpulannya ini. Berarti pasti ada hubungan antara Hannah di masa lalu dengan orangtua kedua kembar tampan Vagano. Apa jangan-jangan...
Emily belum berani menduga.
Sementara itu, tak jauh dari sana...
Sudut pandang / point-of-view seseorang tak dikenal:
Siang itu untuk pertama kalinya kujelajahi lingkungan sekitarku tinggal. Aku sudah begitu akrab dengan tikus-tikus, laba-laba, kelabang dan kecoa yang memang sudah ada di sini semenjak aku kanak-kanak entah umur berapa. Kadang kuberi mereka makanan sisa dari sisa makanan (uh, betapa ironisnya kata-kataku). Jadi mereka sudah seperti hewan peliharaan atau temanku.
Kutelusuri ruangan demi ruangan dan tiba di satu tempat yang menarik dengan sedikit cahaya redup dari lentera yang selalu menyala, entah siapa yang menyalakan.
Di sana ada sebuah benda besar di dinding yang memantulkan cahaya dan juga apapun yang ada di sekitarnya.
Itukah yang disebut cermin? Seumur hidupku aku belum pernah bercermin melihat wajahku.
Dan aku mendekat. Ingin kulihat sudah seburuk apa tubuh dan wajahku yang penuh luka dan kurang gizi ini.
(Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H