"Penulis harus jadi 'penakut'!"
Lho, mengapa? Bukankah penulis harus berani 'bersuara lewat kata'?
Memang ya, penulis harus berani. Akan tetapi, berani macam apa dulu nih?
Hanya berani berdebat? Hanya berani menuliskan berdasarkan kutipan kata orang lain yang ia rasa benar? Hanya berani berada di belakang layar dan berlindung di balik nama pena?
Apa beda dengan 'rengginang di balik kaleng biskuit'? Meski rengginang dan biskuit sama-sama enak, tapi ya sami mawon dengan udang di balik batu.
Jangan lupa untuk 'takut'!
1. Takut kepada Tuhan YME. Tuhan adalah Maha Pencipta yang mengaruniakan kita otak, hati, tangan, mata. Panca indra kita adalah bekal dan modal kita menulis. Namun Ia juga mengaruniakan kita talenta dan jalan. Apabila kita terlalu berani menentang-Nya, tidakkah kita takut pada apa yang Ia sanggup lakukan?
Bukan masalah dosa dan moral, melainkan masalah tanggung jawab ciptaan kepada Pencipta. Kita hanya dititipkan talenta, bukan pemilik.
2. Takut pada hak cipta. Beberapa oknum penulis tidak, kok bisa? Demi klik mereka ATM (amati, tiru, modifikasi) bahkan plagiasi karya penulis yang sudah lebih dulu ada. Demi cuan mereka nekat lakukan apa saja, demi laku dan sebagainya. Takutlah, maka pundi-pundi Rupiah dan Dolarmu akan 'bersih'. Sedikit tak mengapa daripada berlimpah namun 'kotor'.
3. Takut pada penggunaan kata-kata. Walau ada yang namanya licencia poetica dan hak asasi berkreasi, kita tak bisa sembarangan berani berkata-kata.