Penulis yang cerdas tidak cukup jika hanya pandai berkata-kata atau memadu aksara dalam karya tulisnya saja!
"Mengapa demikian? Bukankah hanya tulisannya saja yang perlu dibaca?"
Sangat banyak penulis best seller sukses besar, apalagi penulis di aplikasi baca online zaman now, baru dibaca sekian juta kali saja sudah merasa 'luar biasa' dan berhasil dengan gelar-gelaran penulis emas, emas putih dan berlian.
Padahal sejatinya segala gelar-gelaran, pencapaian dan pendapatan itu sayangnya belumlah bisa menjadi bukti sejati sebuah prestasi dalam bidang literasi.
Selain karya literatur yang layak baca, tentunya pembaca dan dunia ingin tahu kualitas sebenarnya dari seorang penulis yang kemudian akan diketahui dunia.
Penulis memang bukan selebriti dan tentunya tak ada kewajiban untuk tampil atau keluar dari kenyamanannya (yang seringkali dianggap sebagai comfort zone alias suka berlaku anonymous.) Akan tetapi penulis perlu tetap tampil cerdas dan menunjukkan kualitas sebagai penyaji kata-kata walau bukan lewat lisan (bicara).
1. Bagaimana ia memilih kata yang baik dan berkualitas untuk digunakan dalam setiap karya apapun.
Memang pada dasarnya kata-kata apapun bebas untuk diucapkan dan diterakan. Akan tetapi, kebebasan berekspresi itu sebenarnya bukan berarti kebablasan. Bukan hanya ditujukan sebagai monolog bagi diri sendiri, apapun produk kata kita hendaknya 'layak baca' bagi siapapun, bukan hanya bagi target pembaca.
Baca juga: Apa yang Setiap Penulis Perlu Ketahui?Sering saya ulangi, menulis seperti 'menembak' sasaran, namun tidak bisa one-on-one. Kita sedang memegang sebuah perangkat one-to-many alias tak bisa disasar. Bagaikan air selang penyiram tanaman, tak hanya satu tanaman saja, pasti terpercik ke tanaman, rumput dan tanah sekitarnya juga.
2. Seorang penulis hendaknya pintar menahan diri dalam berkomentar maupun menyikapi perbedaan pendapat di media sosial. Penulis yang ingin dianggap bijaksana hendaknya mengerti dan peduli pada isu-isu literasi penulisan dan mendukung setiap usaha untuk memajukan dunia yang ia cintai. Tidak mudah terpancing dengan perbedaan pendapat dan cerdas berkomentar dan memilih kata saat melakukan interaksi sosial. Tidak memaksakan kehendaknya sendiri atau malah mengeluarkan kata yang malah menunjukkan 'ketidakpahamannya'.
Lebih baik diam saja, jika kita tidak yakin akan menjawab apa.
3. Penulis boleh saja hanya tampil menggunakan nama pena, namun ia tidak boleh sekadar ngumpet atau incognito atau incognita. Mengapa? Seorang penulis harus bisa ditemui setiap saat, berbagi pendapat dan inspirasi, tidak hanya muncul secara petak umpet, sekadar membujuk pembaca untuk membaca karyanya dengan bujuk rayu ala-ala SPG saja, melainkan siap membimbing dengan tulus dan penuh kesungguhan.
4. Bukan hanya via bangku sekolah dan kelas menulis, penulis yang cerdas dibentuk lewat bacaan yang informatif, edukatif dan berguna, menyerap semua diksi dan mempelajari apa saja karya berguna demi terus membangun kemampuannya di masa yang akan datang.
Jadi, sudahkah kita belajar dan terus berusaha menjadi penulis yang cerdas?
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H