"Saya belum jadi penulis femes, tapi saya tidak mau menuliskan hal sedemikian walau demi cuan!"
Demikian kurang lebih status postingan rekan penulis dunia maya saya di media sosial beserta beberapa tangkap layar sebuah novel online di platform. Â Berikut saya sarikan dan cuplikkan.
Kisah yang sudah dibaca ratusan ribu kali itu jelas clickbait (izinkan saya menyensor judul dan beberapa kata-kata sensitif demi kesantunan bermedia sosial). Akan tetapi bukan itu (saja) masalahnya.
Jika pada zaman saya dibesarkan belum ada internet dan gawai seperti saat ini, anak-anak di bawah umur dan Generasi Z dihadapkan pada begitu luasnya pilihan di dunia maya akan konten hiburan. Bukan hanya musik, lagu, game dan film saja. Bahkan dunia literasi yang seyogyanya jadi ajang hiburan dan rekreasi para penikmat bacaan.
Sedih dan mirisnya, karena sebegitu mudahnya menjadi seorang penulis dan begitu gampangnya mendapatkan pemasukan dari profesi instan yang berawal dari sekadar hobi ini, segala macam kisah dan literatur online bisa ditemukan siapa saja, termasuk anak-anak!
Jangankan yang gratisan, yang berkunci juga bisa dengan mudah ditemukan dan dibaca oleh anak-anak di bawah usia.
Para oknum penulis semata-mata tergiur pada banyak klik yang kelak bisa menjadi ladang penghasilan. Banyak mereka berkilah jika 'fiksi ya hanya fiksi' lantas menyalahkan orang tua, pengasuh atau pergaulan saja jika anak bisa kebobolan membaca.
Baca juga: Bagaikan Air, Kata-kata Terus Mengalir"Novelku hanya untuk orang dewasa, kok. Jika ada anak yang curi baca ya salah orang tuanya!"
Demikian pernah saya baca di media sosial sebagai sebuah bentuk 'pembenaran diri'.