Hanya ikut kelas menulis sebenarnya belum cukup. Terjun langsung dengan membaca, tentunya karya yang sudah pasti bermutu, kredibel dan minim tipo.
Bermutu bukan berarti yang best seller atau sudah difilmkan, lho! Melainkan yang berhasil menyentuh hati pembaca seperti Anda, diterakan secara jujur dan lugas, serta cukup rapi dalam penulisan.
2. Menulis, sayangnya, tak bisa sembarangan dan semau kita! Walau kita pada dasarnya bebas dan memiliki hak asasi untuk berpendapat, namun ada batas-batas tak terlihat bernama kaidah, norma, akhlak, moral, dan perasaan. Banyak penulis hanya menargetkan uang dan cuan semata-mata dan berusaha mendobrak batasan-batasan tak terlihat ini. Menuliskan kata-kata kotor dan kasar yang tak layak ucap dan tera, tak elok diketahui dan diulangi anak-anak karena dianggap lucu, misalnya.
"Anak-anak? Novelku 'kan hanya untuk dewasa! Jika ada anak kebobolan baca, ya salah orang tua mereka, dong!"
Kita tak pernah akan bisa mengatur dan menentukan siapa pembaca kita. Tak peduli jika kisah sudah dibatasi rating, usia dan kunci. Sama seperti produk apapun yang bisa didapatkan lalu dikonsumsi siapapun (walau bukan pembelinya), demikian pula literatur.
3. Bukan masalah boleh tak boleh, silakan saja berkreasi dan berimajinasi. Namun patut diingat jika tindakan plagiasi, amati tiru modifikasi (ATM) dalam sebuah karya seni bukanlah hal yang etis dan elok. Hargailah hasil karya dan ide orang lain. Carilah inspirasi dari alam, pengalaman, kisah nyata, dan karya lain. Namun jangan ambil mentah-mentah dan ganti nama tokoh, ubah setting dan alur sedikit, dan lain-lain saja dengan kisah yang nyaris sama.
 Seyogyanya kita coba berkarya dari hati kita, swadaya dan swakarsa, mandiri dan berani.
Selamat menyambut 2023, semoga bisa jadi bahan refleksi dan renungan bagi kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H