Sedang heboh soal wejangan viral di media sosial,'nikah jangan muda-muda'. Dokter Boyke dan BKKBN ikut membenarkan.
Konon usia ideal menikah untuk wanita di atas 20 tahun dan pria di atas 25 tahun. Diperlukan kesiapan lahir batin serta finansial dan emosional bagi pasangan. Apakah kamu sudah menikah, merencanakan untuk menikah? Coba cek ini dulu.
Di sini sekalian penulis ingin sorot beberapa fenomena sekaligus yaitu nikah muda atau nikah dini, resesi seks, Â pilihan tetap lajang, serta nikah telat. Waduh, apa hubungannya? Banyak!
Selain karena faktor budaya atau sudah 'biasa saja' di beberapa daerah di Indonesia, mengapa masih banyak pasangan yang tetap mau atau nekad nikah muda?
1. Pengaruh pendapat umum kolektif jika cepat nikah, usia tidak akan beda jauh dengan anak. Dalam arti lain, kita belum tua namun anak sudah besar. Dianggap jika punya anak di usia tua atau menunda akan lebih melelahkan.
2. Merasa sudah yakin atau sreg dengan jodoh kita.
3. Merasa yakin dan mampu memiliki anak di usia dini.
Resesi seks, apa lagi yang dikhawatirkan? Di negara-negara maju, penurunan jumlah pernikahan atau 'tetap menikah namun tidak memiliki anak' terjadi dan dianggap sebagai pilihan hidup karena...
1. Sebagian wanita muda khususnya di perkotaan ingin dibebaskan dari pemikiran sosial tradisional bahwa sudah 'tugas' wanita memiliki keturunan dan memelihara keluarga.
2. Biaya dan tarif hidup semakin tinggi. Apalagi biaya makan sehari-hari dan biaya pendidikan.
3. Tidak ingin terikat pada seseorang maupun kewajiban membesarkan keturunan.
Pilihan untuk tetap lajang, seringkali diambil sebagai keputusan yang kurang lebih sama dengan di atas, namun dengan tambahan..
1. Belum ditemukannya calon pasangan ideal.
2. Terlalu memikirkan risiko dan mungkin trauma pada perceraian (bagi mereka yang berasal dari keluarga broken home, misalnya).
3. Lebih menyukai hidup sendiri tanpa sebab apapun.
Sedangkan nikah telat alias nikah setelah berusia matang biasanya disebabkan hal-hal berikut ini:
1. Belum cukup biaya. Menikah membutuhkan biaya yang tidak sedikit, karena itu perlu dipikirkan dan direncanakan matang-matang.
2. Mempertimbangkan di mana akan tinggal atau ingin memiliki rumah sendiri dahulu sebelum menikah.
3. Mendahulukan karier dan pekerjaan, tuntutan pekerjaan, dan lain-lain.
Kesimpulan dari aneka fenomena gado-gado di atas sebenarnya sederhana saja.
1. Menikahlah bukan karena faktor budaya, usia, dan cinta semata-mata. Usia boleh sudah pas, cinta boleh sudah bucin mentok, akan tetapi menikahlah karena sudah yakin dan siap dengan semua hal pahit manis yang akan dihadapi bersama.
2. Apapun yang kemudian diberikan hidup; punya anak umur berapa saja, jumlah berapa, jenis kelamin apa, syukuri saja.
3. Jangan pernah anggap anak atau masalah memiliki anak sebagai anugerah terindah Tuhan YME sebagai beban. Jalani saja, jika ada masalah, pasti akan ada solusinya.
4. Jangan terlalu ideal dalam berpikir dan bertindak. Jangan jadikan pengalaman orang lain sebagai ramalan bagi diri kita sendiri.
5. Keputusan yang terbaik apakah akan menikah atau tetap lajang, hanya diri kita sendiri yang tahu. Bukan orang tua, keluarga maupun sahabat kita.
Semoga bermanfaat. Salam penuh cinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H