"Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama."
Penulis mati meninggalkan...?
Banyak penulis zaman now hanya ingin agar tulisannya dibaca banyak orang lalu terkenal, lalu dapat banyak pendapatan, merasa seperti selebriti.Â
Karena merasa sudah femes, pembacanya jutaan orang, pendapatannya konon ribuan dolar, lalu bebas menuliskan apa saja. Ramai para pembaca yang ingin menulis juga ikut-ikutan menulis ala si penulis femes. Kadang malah dijadikan patokan, standar, kaidah.
"Menulis yang laku harus yang sesuai pasar, yang mainstream." (Kata dunia, bukan kata saya.)
Padahal ada hal yang jauh lebih penting daripada sekadar uang, femes dan kesuksesan.
Jejak aksara. Itulah yang penulis manapun akan dan telah tinggalkan dan wariskan.
Apapun pilihan kita sebagai penulis, jalur mainstream ataupun anti mainstream seperti saya, hendaknya kita tinggalkan jejak aksara terbaik.
Yang tidak membuat malu keluarga. Yang layak baca sesuai usia. Yang bisa dibanggakan. "Ini karyaku, judulnya..."
Terbaik belum tentu sudah terkenal, best seller atau femes. Kadang malah pada awalnya tersembunyi dari mata dunia. Begitu banyak penulis buku bagus yang sengsara semasa hidup. Bahkan royalti tak sempat mereka nikmati. Banyak yang karyanya baru ditemukan dan dirilis atau diterbitkan setelah mereka tiada.
Mari wariskan jejak aksara terbaik selama kita masih dikaruniai waktu, masih bisa mengetik, menulis, berpikir, mengolah rasa dan asa menjadi kalimat dan alinea-alinea penuh makna.
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H