Kasus kematian misterius 4 anggota keluarga seatap di Kalideres Jakarta Barat masih membuat penasaran. Kira-kira mengapa keluarga yang penulis rasa cukup berada itu bisa sedemikian menutup diri sehingga tidak banyak bisa diketahui aktivitas serta bagaimana mungkin mereka meninggal dunia tanpa pernah berusaha mencari bantuan?
Berikut ini kira-kira analisa kepo penulis:
1. Keluarga-keluarga yang tertutup di kota besar sebenarnya bukan lagi hal luar biasa. Sebagian besar keluarga masa kini tidak lagi seperti dulu di masa 1980-an-1990-an, aktif bersosialisasi dengan tetangga. Karena banyaknya media sosial, salah satu penyebabnya. Memang belum banyak diketahui jejak digital keluarga Kalideres selain dari pemberitaan bahwa mereka meninggalkan dua ponsel dengan chat satu arah yang berisi kata-kata negatif plus beberapa kalimat dalam Bahasa Inggris yang konon cukup fluent. Penulis rasa, keluarga ini cukup terpelajar, kemungkinan memiliki tingkat pendidikan tinggi. Sayangnya, mereka menutup diri karena satu dan lain hal.
2. Anti social-social club, mungkin mereka perlahan kehilangan kepercayaan kepada orang luar 'sungguhan' (dunia nyata) bahkan keluarga besar sendiri. Sejak pandemi Covid-19, banyak kegiatan yang biasa dilakukan terpaksa tidak dijalankan. Sebagian orang mungkin bisa menerima dan mencoba hidup mandiri (karena jarak sosial/social distancing) menjalankan WFH, PJJ dan lain-lain. Namun yang tidak terbiasa demikian akan merasa tertekan. Akibatnya entah mereka mencari solusi dengan entah berlama-lama di media sosial, bermain game online, menonton film streaming dan lain-lain. Akibatnya muncul kelompok sosial yang bukan betul-betul sosial melainkan berdasarkan minat, hobi, dan lain-lain.
3. Karena ketimpangan sosialisasi di dunia maya dan nyata tersebut maka bukan tidak mungkin selama beberapa tahun ini keluarga malang tersebut mengalami bukan lagi lost contact melainkan seperti hidup di tengah hutan, padahal ironisnya berada di tengah kota Jakarta yang sangat ramai.
Mengapa para korban (ingin) menutup diri? Hal ini juga sangat menarik untuk dibahas. Berikut beberapa kemungkinannya.
1. Tidak (lagi) percaya pada sistem keamanan lingkungan. Terlihat dari pagar rumah yang tertutup rapat, di mana mereka mementingkan privasi penuh.
2. Tidak ingin ada yang tahu penderitaan/sakit-penyakit salah satu anggota keluarganya. Entah karena rasa malu, rasa tidak ingin ada yang ikut campur, rasa malas bergaul karena tetangga dianggap kepo, dan banyak lagi faktor X, misalnya pengalaman tidak menyenangkan di masa lalu.
3. Merasa masa depan sudah tak mungkin diperbaiki/tak ada harapan. Kemungkinan karena pengaruh media atau kelompok tertentu juga, sebab menurut berita, masa lalu keluarga ini sama saja dengan 'keluarga baik-baik' lainnya di luar sana. Masih sering ke pasar membeli kue, dan lain sebagainya.
Maka dari itu, penting bagi kita untuk memetik pelajaran dari kasus ini bahwa pergaulan di dunia nyata itu masih sangat perlu dan sehat dilakukan. Walau tidak usah terlalu kepo atau katakanlah setiap hari berlama-lama basa basi, sesekali bertegur sapa untuk menjalin tali silaturahmi tak ada salah dilakukan. Jika ada masalah, cobalah untuk terbuka. Jangan urungkan diri mencari solusi hanya karena malu, segan bin enggan, dan lain sebagainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H