Erotika sudah sangat lama dikenal sebagai genre fiksi maupun seni. Sejak adanya manusia, tentunya sudah ada romantika serta percintaan antara dua manusia (atau bisa juga lebih!) yang dikisahkan, entah kisah nyata maupun khayal.
Erotika hadir dalam ukiran dan patung-patung lingga-yoni di candi-candi, berbagai buku lama baik perkamen maupun media klasik lainnya. Di banyak negara termasuk Asia dan Indonesia, hadir dalam Seni Literasi Sastra seperti bagian dalam Kamasutra, Serat Centhini, maupun gambar/tradisi ritual-ritual seksual di Jepang (yang sering disalahkaprahkan sebagai geisha.)
Di Indonesia, erotika hadir juga dalam berbagai buku lama dan beragam wujud. Mulai dari sastra wangi yang dengan berani mendobrak ketabuan misalnya Saman dan Larung karya Ayu Utami, hingga novel jadul ala-ala penulis dengan nama pena Enny Arrow dan Fredy S. yang entah siapa penulis-penulis yang berada di baliknya.
Sayangnya di masa kini erotika yang disajikan di novel-novel online yang sedemikian instan tertulis dan dipublikasikan nyaris tanpa saringan semakin membludak dan digandrungi sebagian besar pembaca pemula. Mereka dengan polos mengira pornlit adalah/sama dengan erotika tanpa tahu beda/batas cukup jelas antara pornlit dengan erotika.
Erotika dan pornlit adalah dua genre yang begitu mirip tapi jelas beda. Ibarat sama-sama telur, namun yang satu telur ayam, yang lain telur bebek.
Erotika diterakan secara indah, walaupun mungkin ada adegan menggairahkan (menggerahkan) namun diterakan penulis dengan sehalus mungkin. Mungkin adegan percintaan tidak sedemikian terang-terangan, mengandalkan perumpamaan maupun majas lainnya. Ditata hingga tetap nikmat dibaca tanpa membuat banyak kontroversi.
Sedangkan pornlit ditulis semata-mata untuk menggugah gairah purba pembaca layaknya bacaan yang ditulis tanpa mempertimbangkan pemilihan kata yang baik. Menghalalkan segala kata termasuk yang kurang elok dibaca (misalnya istilah terlalu vulgar untuk penggambaran organ-organ intim manusia dan sebagainya.)
Dalam Bahasa Inggris saja (yang notabene bahasa internasional) masih ada kata tertentu yang hingga kini masih sangat diharamkan untuk pemakaian sehari-hari apalagi untuk literatur resmi (berita, ilmiah). Dua contoh yang paling umum saja, f*ck dan sh*t (yang walau masih sering digunakan dalam komik atau fiksi populer, maknanya tidak pernah bisa menjadi lebih halus di masa kini).
Pembaca yang tentunya orang-orang cerdas juga hendaknya sudah lebih pintar memilah dan memilih bacaan dan genre. Bagi para pembaca yang sudah dewasa secara pemikiran maupun usia, barangkali 'tak apa-apa' sesekali melirik ponlit. Tidak menganjurkan atau merekomendasikan, mengingat genre ini sangat mudah terpeleset 'mengajak pembaca' untuk melakukan hubungan intim antar manusia yang menyimpang atau kurang lazim, hendaknya bijak-bijak memilih bacaan.
Intinya, jangan mudah tergoda oleh pornlit yang menyamar menjadi erotika bagaikan serigala menyamar jadi domba.
Tambahan 7 Juni 2023.
Pada masa kini, banyak sekali literatur instan (novel) online yang menawarkan erotika, padahal sebenarnya bacaan yang dimaksud bukanlah erotika sejati melainkan pornlit. Kata-kata judul yang dijadikan clickbait mengundang gairah dan rasa penasaran pembaca, misalnya. Belum lagi kata-kata yang digunakan di dalam kisah tersebut menggunakan istilah terlalu to the point. Hendaklah para penulis mampu berpikir dengan bijaksana agar tidak terlalu mudah terjerumus pada selera pasar dan tuntutan platform semata-mata hanya demi penghasilan. Benar, remunerasi itu penting, akan tetapi masa depan anak-anak bangsa ini jauh lebih penting. Apa jadinya jika kita tidak berusaha memperbaikinya dari sekarang lewat sumbangsih hiburan yang bukan hanya mengisi waktu luang, akan tetapi juga mampu mendidik dan mencerahkan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H