Banyak orang ingin mulai menulis namun merasa enggan bin malu untuk menulis. Belum mulai saja sudah insecure duluan. Sebaliknya, banyak penulis yang sudah mendapat pembaca malah mulai malu-maluin alias semakin berani menulis yang tidak-tidak.
Kedua-duanya ada pada ekstrem yang berbeda. Sebenarnya tidak ada yang benar-benar oke dari kedua kondisi di atas. Coba kita teliti termasuk yang mana, syukurlah jika tidak dua-duanya.
Jangan malu untuk menulis. Sebuah tulisan adalah komunikasi yang sangat efektif untuk menyampaikan sesuatu kepada orang lain baik yang tidak kita kenal maupun sekitar kita. Lewat media sosialkah, lewat pesan atau blog, atau apa saja. Jangan takut didengar (dibaca). Jika kita berani bicara ceplas-ceplos kepada teman kita di sekitar, mengapa tidak bisa lewat cara lain? Anggaplah jari kita sebagai mulut kita. Ketikkan saja apa yang terlintas, namun sebelum kita luncurkan, cek dan ricek dulu.
Jangan terlalu malu-maluin dalam menulis. Mungkin kita sudah seperti selebriti, semua orang menunggu-nunggu update kita. Akan tetapi itu bukan berarti kita bebas semaunya berkata-kata, menulis semaunya, menghalalkan segala kata. Penulis yang baik bukan mereka yang karyanya sudah best seller, sempurna bebas tipo dan lain-lain, melainkan penulis yang bijak mempertimbangkan setiap kata dan kalimat yang akan ia terakan! Ingat, kita bagaikan sedang membotolkan air minum dalam kemasan. Siapapun bisa meminum air itu, bukan hanya target pembaca saja!
Sesungguhnya, kita bertanggungjawab penuh untuk setiap kata dan kalimat yang kita terakan.
Jadi  di manapun posisi kita saat ini, apakah berada di tengah saja alias tidak kedua-duanya? Belajarlah untuk menulis sesuai panggilan hati. Artinya, tanpa paksaan, tanpa motivasi yang salah (ikut-ikutan, sekadar menargetkan keuntungan, dan lain-lain).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H