Namun dalam perjalanan saya sebagai seorang penulis junior di tahun 2000-an yang berusaha untuk menerbitkan buku saya menjadi buku cetak yang dapat dimiliki semua orang, tentu saja masih ada kegagalan. Saat itu saya sudah beberapa kali mencoba untuk mengirimkan naskah ke beberapa penerbit besar, yang selalu ditolak atau dikembalikan setelah beberapa bulan kemudian dengan berbagai alasan.
Sudah capek-capek mengetik dan menjilid seperti skripsi, sebab pada tahun-tahun awal milenium ini belum banyak dan belum populer kegiatan online maupun platform menulis. Semua harus dilakukan secara manual alias diketik, di-print kertas, dibentuk menjadi buku dahulu dan diperbanyak dengan cara fotokopi. Dan tentu saja tak murah karena memfotokopi ratusan halaman naskah hampir sama biayanya dengan menjilid soft cover sebuah skripsi, belum termasuk biaya kirimnya.
Karena saat itu saya juga belum terlalu mengerti PUEBI, tentu saja semua naskah saya belum terlalu baik dibandingkan dengan karya-karya pada masa kini. Memang segala sesuatu perlu waktu untuk mencapai level berikutnya.
Juga karena pada tahun 2000-an belum ada sistem penerbitan yang memungkinkan kita mencetak buku dalam jumlah kecil atau sistem PO, melainkan minimal 3000 buku, sangat sulit bagiku untuk mencari uang saat ada seorang oknum penerbit mandiri yang menawarkan cetak.
Dan karena saat itu saya masih belum berpengalaman dan juga terlalu ceroboh, dengan naifnya saya bahkan sampai berhutang pada KTA untuk memperoleh uang untuk biaya cetak. Karena oknum penerbit mandiri hanya mengurus ISBN dan tak mau keluar modal, alias menjadi makelar cetak saja.
Sayangnya, oknum penerbit mandiri yang tadinya saya begitu percayai karena merupakan seorang penulis buku ternama yang konon buku-bukunya menjadi best seller di penerbit terkenal, ternyata kurang jujur dan malah tak menginfokan dengan jelas. Buku entah tercetak sesuai atau tidak dan hasilnya antara laku dan tidak, tak pernah ada kejelasan. Akhirnya beliau menghilang begitu saja hingga saat ini.
Mati-matian saya mencoba melunasi hutang KTA tersebut dari gaji saya sendiri yang saat itu masih terbilang minim. Syukurlah bisa dilunasi dalam kurun waktu yang dijanjikan.
Pelajaran yang saya petik dari kejadian atau pengalaman ini adalah :
1. Jangan mudah percaya kepada seseorang, walaupun ia seorang yang terlihat baik dan menjanjikan. Bila perlu, adakan perjanjian bermeterai dan juga tanyakan keberadaan surat kesepakatan bersama antara penerbit-penulis mengenai royalti dan sebagainya.
2. Jangan terlalu ingin cepat naik, sebab segala sesuatu ada prosesnya.
Demikianlah sejak kejadian pahit tersebut, saya sempat putus asa dan berpikir untuk mengakhiri petualangan menulis saya, namun setelah saya menikah, malah ada kejutan lain menunggu, sebab bakat terpendam memang tak untuk dipendam di dalam tanah.
Selalu ada jalan baru untuk mewujudkan...
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H