"Terima kasih ya, kalian berdua. Sudah bertahun-tahun aku tak punya keluarga. Hidup seperti anak kost, makan Evermie, dan masak telur ceplok," dalam kondisinya yang ngantuk berat, Rey masih doyan bercanda.
"Jadi, kita lanjut?" tanya Rey lagi sambil tersenyum, mengerling mesra dengan matanya yang tinggal segaris.
"Uhh, iya." Joy tak bisa menahan gemas. Kalau saja Rey tidak sakit, sudah ia gelitiki habis-habisan. "Tapi seram, jadian sama pangeran. Paparazzi dan intel mengintip kita. Gak bisa bebas deh,"keluhnya. Ups.
"Mau bebas seperti apa? Aku bisa kok bawa kita ke pulau pribadi tanpa diketahui siapa-siapa. Aku sendiri bukan orang kaya, belum bisa menghasilkan. Tapi teman-temanku kebetulan selalu menyuplaiku apa yang kubutuhkan secara diam-diam." Rey tambah ngawur saja - batin Joy setengah tak percaya.
"Tidurlah, aku di sini, tak bisa menemanimu tentunya, kau boleh memakai ruang tamu."
"Ya, tapi antar aku ya, dan minta dikecup di kening boleh?"
Uh, sebal! Tapi Rey memang kolokan. Joy mengantarkan pangerannya ke kamar. Dengan gembira pemuda itu membaringkan tubuhnya sambil diselimuti. "Bantal empuk. Ah, tidur dulu ya Joy, selamat malam."
Segera, Rey tertidur pulas. Joy masih di sisi tempat tidur, menatapnya tak percaya.
"Pangeran Rey. Dan ia betulan masih ingin pacaran denganku, jelata Joy."
Entah ini berkat atau bukan, keberuntungan atau malah ketidakberuntungan. Joy sadar, akan banyak pihak yang menentang keras bahkan tak segan-segan menghukum mereka.
Joy dulu sering ikut-ikutan papanya almarhum, duduk bareng di teras membaca koran sambil minum kopi. Jadi ia tahu banyak info. Ayahanda Rey dikenal sebagai raja yang keras memerintah rakyatnya. Kerajaan  Evertonia dikenal sangat kolot, monarki abis, hampir seperti Kerajaan Inggrez. Siapa berani berkhianat atau melawan, akan segera dihukum, dideportasi, diasingkan. Pangeran atau putra mahkota tak berarti aman. Rey bisa menghadapi sanksi tegas, bahkan bila raja mau, dijodohkan setiap saat secara paksa dengan putri tercantik yang sederajat dengannya.