"Bu Aya", sebut saja begitu, Â adalah ART di rumah kami. Buruh cuci gosok berumur hampir 50 dengan satu orang cucu.
Beberapa tahun silam, Bu Aya meminjam uang kami, tidak besar, kira-kira sebesar uang pangkal anak SD sekolah saja. Beliau butuh biaya untuk pernikahan  anak sulungnya di kampung yang sebetulnya tak seberapa butuh uang. Hanya pernikahan tenda biru dimana tetamu duduk di kursi sewaan di jalan berteman air mineral gelas dan pisang sebagai menu, tak seperti di kota-kota besar sebelum pandemi, dimana resepsi mesti di gedung, restoran atau hotel mewah dengan makanan berlimpah dan tetamu berbusana plus dandan wah.Â
Pesta putra Bu Aya hanya makan-makan biasa, memang sih, 'akad' jauh lebih penting daripada 'nekad'. Karena suami Bu Aya juga tak punya biaya. Apalagi sang putra yang kala itu masih muda.
Kami membantu dengan tulus dan gembira. Beberapa tahun berlalu, kami tahu Bu Aya belum sanggup melunasi. Saya dan keluarga juga hampir lupa, karena kami santai-santai saja. Toh, Bu Aya setia melayani dan beliau sangat sayang dan perduli pada anak-anak, di waktu senggang ia ikut momong mereka semenjak bayi. Kenalan lama, beliau pernah melayani kami semenjak pak suami SMP, jadi sudah dianggap keluarga sendiri.
"Neng, Maaf ya. Bu Aya belum bisa bayar. Nanti kalau dapat arisan, Bu Aya bayar pelan-pelan ya. Sebenarnya Bu Aya maluuu banget, tapi Bu Aya pasti bayar kok." janjinya sambil setengah menangis pada suatu hari.
"Gapapa Bu, kapan saja." jawab saya dan ibunda suami. Kami sepakat tak mau membebani Bu Aya. Beliau bisa datang setiap hari untuk mencuci baju keluarga kami yang kadang segunung, sudah sangat luar biasa. Jadi kami mengerti betul beliau berniat baik.
Bagaimanapun, dalam agama yang dianut Bu Aya, hutang harus dilunasi. Beliau sering sekali mengungkapkan itu. Walau sampai sekarang hanya berjanji,
Bu Aya masih ingat. Beliau tak lupa maupun bisa tidur nyenyak karenanya.
Sungguh luar biasa! Namanya boleh saja saya sebutkan Bu Aya, namun ia bukan buaya.
Jauh lebih baik dan mulia Bu Aya-Bu Aya seperti ini, daripada mereka yang punya hutang lama yang diam saja seolah tak pernah ada. Merekalah buaya-buaya yang sesungguhnya. Orang-orang yang gali lubang tutup lubang. Orang-orang yang tak rela kehilangan bonus login game-nya asal masih punya kuota, padahal di sana masih hutang kuota alias pulsa. Tak ada kabar, konfirmasi, penyesalan, apalagi air mata.
Orang-orang yang selalu bilang "Oke, nanti, sabar, besok ya, awal bulan, kalau jualan laku, kalau sudah gajian, kalau sudah THR-an"
Mereka inilah buaya yang berbulu domba, eh, serigala ya? Sayang, ironisnya, mereka kebanyakan kalangan berada. Orangtua masih ada. Tinggal di rumah, ruko, gedung, apartemen. Bukan buruh cuci gosok seperti Bu Aya yang tinggal di kontrakan seadanya.
Jadi, termasuk yang mana kita bila berhutang dan belum bisa melunasi, Bu Aya atau Buaya? Hanya hati nurani yang bisa menjawabnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H