Seperti yang kita ketahui bahwa dalam pembentukan diri supaya menjadi lebih baik itu perlu kita melakukan evaluasi diri, evaluasi yang sudah ada salah satu ayat berkaitan dengan aktivitas perencanaan dan evaluasi (pengawasan) yaitu QS. Al-Hasyr [59]:18
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ
"Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”
Ibnu katsir menafsirkan ayat ( وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ) dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). yakni hisablah diri kalian sebelum dihisab (di Akhirat kelak), dan lihatlah apa yang telah kalian simpan untuk diri kalian berupa amal saleh untuk hari Akhir pada saat bertemu dengan Rabb kalian.
Perintah memerhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok dipahami oleh Thathaba'i (dalam M. Quraish Shihab, 2017), sebagai perintah untuk melakukan evaluasi terhadap amal-amal yang telah dilakukan, seperti seorang tukang yang telah menyelesaikan pekerjaannya kemudian dia dituntut untuk memerhatikannya kembali agar menyempurnakan bila telah baik, atau memperbaikinya bila masih ada kekurangannya, sehingga jika tiba saatnya diperiksa, tidak ada lagi kekurangan dan barang tersebut tampil sempurna.
Kemudian Pengawasan (evaluasi) perspektif Al-Qur'an selain dapat dilakukan oleh diri sendiri (internal evaluating/controlling) melalui metode Muhasabah, juga bisa melalui kesadaran atas pengawasan dari luar (external evaluating/controlling), misalnya pengawasan Tuhan dan para Malaikat-Nya. Pengawasan Tuhan mendorong seseorang untuk memiliki "kesadaran transenden" sehingga termotivasi untuk selalu berbuat sesuai dengan keinginan Tuhan. "Kesadaran Transenden" ini dinamakan "Ihsan".
Pengawasan (evaluasi) atau muhasabah diri dapat didekati dengan pendekatan sufistik. Ada beberapa metode sufistik yang disampaikan oleh Sanerya Hendrawan yang menurut penulis dekat dengan konsep pengawasan (evaluasi) diri, yaitu (1) pengawasan (murqabah), (2) introspeksi (muhasabah), (3) refleksi (tafakkur), dan (4) retret ('uzlah) dan khalwat.
1. Pengawasan (Muraqabah), yaitu konsentrasi penuh dan waspada terhadap segenap kekuatan jiwa, pikiran, imajinasi, dan tindakan; suatu pengawasan diri yang cermat atas keadaan lahir dan batin sehingga menghasilkan terpeliharanya suasana hati yang jernih dan sehat.
2. Introspeksi (Muhsabah), yaitu: menghitung diri, memeriksa dan menimbang diri sendiri seberapa baik dan seberapa buruk di masa lalu dan apa yang telah diperbuat untuk hari esok. Muhsabah mengandaikan rasa tidak puasa yang tidak pernah henti terhadap kebaikan yang telah dibuat, dan introspeksi diri terus-menerus atas kemungkinan kesalahan. Tiga hal yang menentukan keberhasilan Muhasabah, yaitu: (1) perlu memiliki cahaya hikmah, yaitu pengetahuan untuk membedakan kebaikan dari keburukan, (2) "mencurigai" diri sendiri untuk melihat kelemahan diri secara obyektif, dan (3) kemampuan membedakan nikmat dan ujian.
3. Refleksi (Tafakkur), yaitu memikirkan, merenungkan, mengingat Allah melalui segala ciptaan-Nya yang tersebar di langit dan bumi, dan bahkan yang ada dalam diri manusia sendiri. Tujuan tafakkur untuk menumbuhkan kesadaran dalam diri tentang kekuasaan, kebesaran, dan keagungan Allah dalam setiap objek ciptaan-Nya. Misalnya menafakuri alam semesta sebagaimana dalam QS. Ali Imran [3]: 190-191. 'Uzlah (Retret) dan Khalwat, yaitu mengasingkan diri dari masyarakat. "Uzlah dan Khalwat sebagai praktik pelatihan jiwa yang umum ditemukan pada semua tradisi, termasuk Islam, Kristen, Budha, dan Hindu. 'Uzlah dalam bahasa Inggris disebut dengan disengagement (perenggangan).
4. Uzlah dan Khalwat menekankan suasana batin dalam kesendirian, keheningan, tidak bertemu dan berkomunikasi dengan siapa pun, kecuali Tuhan. Kegiatan yang terpenting adalah berzikir, berdoa, dan beribadah untuk memperoleh pencerahan jiwa, kesucian, dan hikmah, atau yang sekarang disebut dengan imajinasi, iluminasi, kreativitas, dan intuis.
Dalam paparan diatas, dapat diambil suatu penegasan bahwa evaluasi dalam perspektif Al-Qur'an ini mendorong seseorang untuk selalu melakukan muhasabah (evaluasi) atas apa yang sudah dilakukan di dunia ini sebagai bekal di akhirat nanti. Dari 4 metode sufistik dan beberapa penjelasan tentang evaluasi diatas sangat penting sekali untuk kita ingat, kita terapkan dan kita amalkan bahkan kita sebarkan juga agar tidak hanya kita sendiri yang mengetahui tentang pentingnya evalusi dan muhasabah diri, tetapi saudara muslim kita yang lainya juga, sebagaima diungkapkan dalam hadits nabi "sebaik-baiknya manuasia adalah yang bermanfaat untuk manuasia yang lainnya".
Penulis: Randi Tamirano, Dr. Hamidullah Mahmud, Lc. M.A
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H