Ketika datang 10 akhir dari Ramadhan, yang dilakukan Rasulullah Saw adalah menyibukkan diri agar fokus beribadah kepada Allah Swt, membangunkan sanak keluarganya, mengencangkan ikatan sarungnya, serta menghidupkan malam-malamnya dengan dzikir, shalat, dan membaca Al-Qur'an. Bahkan tak jarang pada sepuluh akhir dari Ramadhan, beliau beri'tikaf penuh di malam-malam harinya.
Diriwayatkan dari jalur Aisyah, dikatakan, "Ketika memasuki 10 akhir Ramadan, Nabi mengencangkan sarung, mengisi malamnya dengan ibadah, dan membangunkan keluarganya untuk ikut ibadah" (H.R. al-Bukhari).
Dalam redaksi lain, Aisyah berkata, "Pada 10 terakhir bulan Ramadan Rasulullah saw. lebih giat beribadah melebihi hari-hari selainnya." (H.R. Muslim)
Artinya, sekarang kita dapat melihat dengan mata kepala kita sendiri, betapa sebagian dari ummatnya, kini lebih merindukan supermarket ketimbang masjid (baca: tempat sujud), lebih mengutamakan baju baru ketimbang Lailatul Qadar, lebih mementingkan segala sesuatu selain ibadah kepada Allah Swt.
Perbuatan ini menjadi semacam kebiasaan, bahkan sepertinya, dia sudah menjadi budaya yang erat, sangat sulit untuk dilepaskan, miris memang. Ketika awal malam shaf shalat tarawih penuh memanjang sampai kebelakang, pada akhirnya menciut maju kedepan. Ketika masjid-masjid kian menyepi dan pasar-pasar mulai meramai, apa yang semestinya kita perbuat? Sampai kapan perbuatan semacam ini berperan? Kita tak berkutik, Tuhan yang meracik.
Andai saja masjid-masjid itu dapat berbicara, niscaya mereka keras menangis, iri menggubris, pada pasar-pasar itu... "kenapa semakin hari aku semakin sepi? Mengapa mereka lebih meramaikan pasar ketimbang meramaikanku? Apa salahku? Bukankah aku adalah tempat yang menenangkan, tempat yang sejuk, tempat yang apabila seorang hamba berdoa pasti dikabulkan, tempat hamba Allah bersujud, tempat seorang hamba meneteskan air matanya, tempat dimana para kekasih Allah merindukannya?
"Tetapi...betapa pun mereka tetap teguh pada pilihan mereka masing-masing, aku akan tetap setia, aku akan tetap menunggu siapa saja yang menginginkanku, pintuku selalu terbuka bagi siapa yang ingin berteman denganku, dan saat ini, aku rindu dengan orang-orang itu".
"Lupakanlah masalah ini, aku hanya butuh kamu instrospeksi diri".
Virus korona masih berkeliaran dimana-mana, masjid-masjid ditutup, kenapa pusat perbelanjaan tetap dibuka lebar-lebar?! Hal ini membuat perasaan masjid semakin tersayat-sayat bagaikan sayatan sebilah pedang. Memang penutupan masjid ada pro dan kontra sebagian kelompok. Kendati demikian, semoga tidak menjadikan semangat kita luntur di hari-hari menjelang perginya bulan Ramadhan ini.
Hemat saya, semoga apa yang diharapkan diri kita di bulan Ramadhan yang mulia ini, yaitu sedikit demi sedikit virus korona beranjak pergi. Lalu, kita dapat menyambut hari raya idul Fitri nanti dengan senyuman, ia dinanti-nantikan, hari kemenangan, hari dimana kita menjadi suci kembali seperti seorang anak yang baru saja dilahirkan, putih bersih, tanpa dosa seperti lembaran kertas putih tak tergoreskan sedikitpun tinta hitam.
Dengan begitu, kita dapat menjalankan aktivitas kembali seperti sedia kala, kita juga dapat beribadah dan bekerja seperti biasa dengan nyaman, aman, tenang, dan tentram.
Sekian, semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H